Selasa, 30 September 2025

Opini Tamu

Bencana Tiap Seratus Tahun dan New Normal

Situasi akibat Pandemi Covid-19 hari ini juga sudah terjadi 100 tahun silam. Dunia masuk dalam sebuah medan baru, dan kemudian menjadi new normal

Editor: Yudie Thirzano
Warta Kota/Angga Bhagya Nugraha
Jendela Hotel berbentuk hati, tampak terlihat di Hotel Grand Hyatt, Bundaran HI, Jakarta Pusat, sebagai kampanye aksi solidaritas ?Love Light Heart?, Minggu (12/4/2020). Aksi tersebut sebagai bentuk menebar semangat cinta di tengah pandemi COVID-19 dan bentuk ungkapan cinta terhadap perjuangan tenaga medis dan orang-orang di garis terdepan dalam penanganan COVID-19. 

Tapi dalam sejarah letusan gunung api yang bisa diingat atau dicatat manusia, Tamboralah salah satu yang terbesar. Ada juga sih yang lain, seperti letusan Yellowstone di AS, atau Gunung Thera-Santorini di Yunani, atau Vesuvius di Italia. Atau kalau mau disebut, Deccan Plateau di India. Tapi dari sisi tarikh waktu kejadiannya, hanya Tambora yang paling dekat dengan ingatan manusia yang terbilang sangat pendek.

Yang disebut terakhir, Deccan Plateau, terbentuk dari letusan dahsyat 60 juta tahun lalu. Yellowstone njebluk 640 ribu tahun lampau. Sementara Gunung Thera yang kemudian membentuk pemandangan alam indah di Santorini, terjadi 1500 tahun sebelum Masehi. Sedang Gunung Vesuvius meletus di awal-awal pemerintahan Romawi –yang kini jadi Italia itu—tahun 79 Masehi. Ada juga Toba, tapi itupun umur geologinya juga panjang di belakang ingatan kita.

Dari sudut kerangka waktu manusia, letusan gunung-gunung itu kecuali Tambora jaraknya terlampau jauh dan sulit untuk dibayangkan. Secara psikis, ingatan kita sangat pendek. Wong kemarin kita makan apa saja kadang sudah lupa, kok. Opor atau sambal goreng? Opornya ayam atau telor? Ayamnya dibeli di pasar atau supermarket, mungkin kita sudah lupa. Atau tak tahu. Yang baru kemarin sudah lupa. Apalagi yang terjadi ribuan tahun, puluhan ribu, atau bahkan juta tahun silam.

Ilmu pengetahuanlah dan geolog-geolog yang tekunlah yang membantu kita memahamkannya dalam cara berpikir kita sebagai manusia yang awam. Sejarawanlah yang menelisiknya lewat ratusan atau ribuan dokumen dan buku-buku. Atau arkeolog yang menyibaknya dari tanah-tanah yang kasat oleh mata kita.

Ketika peringatan 200 tahun letusan Gunung Tambora 2015 lalu, saya berkesempatan mendekati bentukan alam yang terbentuk dari letusan gunung itu. Dengan sepeda. Merayapi pesisir pantai dari Pulau Lombok menuju Sumbawa, pemandangannya elok semata. Beruntung juga, sebelum mengayuh sepeda, saya baca-baca sikit tentang Tambora ini.

Ketika sudah memasuki kawasan puncak, melewati tanjakan yang tak habis-habis, saya masih belum bisa mengimajinasikan bagaimana kira-kira kehidupan wilayah itu sebelum gunung itu meletus. Yang saya lihat hanyalah hamparan bukit-bukit luas savana, dengan rumput ilalang menghijau sepanjang mata memandang. Di kanan bukit menghijau, di kiri lautan lepas membiru. Vegetasi pohonnya minim. Padahal itu dataran tinggi. Ada gugusan bukit yang disebut Bukit Teletubies, karena mirip bukit-bukit yang kita lihat dalam cerita kawanan boneka bernama Dipsi, Laa-la, Po, dan Tinky Winky itu.

Gunung Tambora sebelum meletus, memiliki ketinggian sekitar 4.300m di atas permukaan laut. Begitu njebluk, dhuaaarrrrr…. gundukannya terpangkas tinggal separuhnya dari badan sampai kaki dataran. Yang di bagian paling atas muncrat didorong tenaga dari perut bumi. Melayang-layang hingga 35-45 km ke udara, tembus sampai ke stratosfer.

Sebagai bayangan, kalau kita naik pesawat terbang, ketinggiannya paling mentok di sekitar 30-40 ribu kaki atau sekitar 10 km. Ini tiga hingga empat kali lipat.

Kaldera Gunung Tambora, Dompu, Nusa Tenggara Barat, Minggu (22/3/2015). Gunung Tambora meletus dahsyat pada 10 April 1815 menyisakan kaldera seluas 7 kilometer persegi dengan kedalaman 1 kilometer.
Kaldera Gunung Tambora, Dompu, Nusa Tenggara Barat, Minggu (22/3/2015). Gunung Tambora meletus dahsyat pada 10 April 1815 menyisakan kaldera seluas 7 kilometer persegi dengan kedalaman 1 kilometer. (KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO)

Puluhan juta meter kubik material yang tersembur ke atas, menimbulkan efek seperti cendawan atau payung raksasa yang melingkupi hampir seluruh permukaan bumi. Dengan ketinggian payung debu sekitar 40 km, dengan bobot material teringan yang hanya beberapa gram, dengan kekuatan gravitasi, bisa dibayangkan berapa lama debu-debu dan material itu jatuh kembali ke bumi. Yang bebatuan ya mungkin dalam jam atau hari mendarat kembali di bumi. Itupun entah di mana. Kerikil mungkin dalam hari atau minggu. Tapi debu-debu, berbulan-bulan melayang di permukaan bumi.

Efek letusan ini memang sungguh dahsyat. Gara-gara bumi dan lapisan bumi tertutup awan, debu, dan pasir material, bumi mengalami perubahan iklim yang amat drastis. Mengapa? Karena matahari tidak nongol sampai berbulan-bulan. Sembunyi di balik awan. Hujan turun tak henti-henti. Kayak singkatan nama bulan: Januari. Hujan saban hari.

Lalu, apa hubungan letusan ini dengan pandemi? Pada rantai pasokan makanan, pada mobilitas atau pergerakan orang, tentu saja. Ketiadaan matahari selama berbulan-bulan, menyebabkan tanaman-tanaman mati. Orang-orang yang tinggal di kawasan empat musim, menyebut tahun itu sebagai “Tahun tanpa musim panas”, The year without a summer. Bahan makanan langka. Rumput-rumput mati.

Orang-orang Eropa, yang punya cara mendokumentasikan suatu kejadian atau peristiwa secara baik, mengungkapkan bahwa manusia zaman itu harus berebut makan dengan binatang, terutama binatang ternak. Akibatnya, kuda-kuda mati bergelimpangan.

Transportasi utama –kereta yang mengandalkan kuda- lumpuh dan lenyap dari jalanan. Tidak hanya puluh atau ratus ribu, jutaan kereta kehilangan tenaga penggerak. Mobilitas manusia terhenti.

Ada seorang perempuan, Mary Shelley, terjebak dalam sebuah villa di Danau Geneva, Swiss dalam kondisi tanpa matahari, tanpa udara hangat. Berhari-hari, berpekan-pekan.

Suasana itu sangat mencekam dalam alam berpikir dan imajinasinya. Apalagi, ia terjebak di rumah itu bersama suaminya yang seorang penyair, dan teman dari penyair yang namanya juga kondang, Lord Byron. Tiap hari yang mereka obrolkan dan percakapkan, ya nggak jauh dari cerita-cerita seram dan menakutkan. Karena suasananya memang benar-benar mencekam. Hujan dan petir sepanjang hari, sepanjang pekan, tak putus-putus.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan