Virus Corona
Refly Harun Anggap Lockdown Terlalu Berat: Harusnya di Awal Tutup Akses WNA
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyebut opsi lockdown untuk menekan angka korban virus corona terlalu berat. Ini dampak bagi pemerintah pusat.
TRIBUNNEWS.COM - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyebut opsi lockdown untuk menekan angka korban virus corona terlalu berat untuk dilakukan saat ini di Indonesia.
Refly beranggapan seharusnya pemerintah pusat sejak awal menutup akses warga negara asing (WNA) untuk masuk ke Indonesia.
Dilansir Tribunnews.com, hal ini diungkapkan Refly dalam tayangan unggahan YouTube Talk Show tvOne, Senin (16/3/2020).
Refly menjelaskan bahwa langkah pertama yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah menutup akses WNA agar tak bisa masuk ke Indonesia.
Baca: BREAKING NEWS: Update Corona di Indonesia: Kini Ada 172 Kasus, 9 Pasien Sembuh
Ia beranggapan langkah terpenting adalah pembatasan, bukan malah lockdown.
"Menurut saya kita harus membedakan, ketika virus ini di awal, misalkan dari China dan daerah-daerah lainnya, kan kita harusnya paling tidak menutup pergerakan orang asing," ungkap Refly.
"Jadi bukan lockdown-nya sebenarnya, tapi menutup pergerakan orang asing masuk sini. Jadi semacam melarang mereka masuk," sambungnya.
Terlebih saat ini virus corona sudah terlanjur menyebar ke Indonesia, maka solusi lockdown dinilai terlalu berat.
"Ketika kemudian setelah tersebar seperti ini, kita mau melakukan lockdown, itu menurut saya memang tidak mudah," kata Refly.
Baca: MUI Keluarkan Fatwa Salat Jumat untuk Daerah Berpotensi Terjangkit Corona
Baca: Karena Corona, Ribuan Calon Pengatin di Indramayu Terancam Batal Gelar Resepsi Pernikahan
Menurut Refly, ada banyak konsekuensi yang harus ditanggung pemerintah.
Di antaranya harus memenuhi kebutuhan sehari-hari seluruh masyarakat atau seluruh warga daerah yang terkena lockdown.
"Bukan dari sisi hukumnya, tapi menurut saya sisi non-hukumnya. Sebagai contoh misalnya dari sisi penyediaan kebutuhan," kata Refly.
"Kalau lockdown wilayah, misalnya DKI ini lockdown, maka yang terjadi adalah tidak ada lagi pergerakan, tidak boleh orang keluar masuk."
Refly beranggapan tugas ini terlalu berat, lantaran aparat TNI dan Polri harus bersiaga untuk mengamankan kondisi daerah lockdown serta membagikan kebutuhan harian.
Berikut video lengkapnya:
Solusi dari DPR
Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi menyebut jika lockdown menjadi pilihan terakhir, maka pemerintah bisa mengambil solusi peningkatan sense of crisis.
Dilansir Tribunnews.com, hal ini diungkap Bobby dalam tayangan Sapa Indonesia Pagi unggahan YouTube KOMPASTV, Senin (16/3/2020).
Sebelumnya, sudah tersambung warga dari berbagai daerah melalui telewicara yang mayoritas kurang setuju dengan opsi lockdown.
Bagi Bobby, wajar jika banyak masyarakat yang tidak setuju dengan lockdown lantaran akan menimbulkan permasalahan lain.
Yakni terbelenggunya hak-hak masyarakat, ditambah dengan masyarakat yang harus selalu berhadapan dengan aparat penertib yang bisa jadi ditugaskan selama lockdown.
"Jadi, kalau memang kita lihat dari aspirasi publik, lockdown itu adalah opsi terakhir," ujar Bobby.
"Karena ada penangguhan hak sipil, ada keadaan yang memaksa oleh aparat," sambungnya.
Jika pemerintah Indonesia tidak akan lockdown seperti halnya Singapura, Bobby mengusulkan solusi lain yakni peningkatan sense of crisis.
Meningkatkan sense of crisis di masyarakat berarti mendorong masyarakat untuk lebih peka terhadap situasi dan kondisi saat ini.
"Solusinya kalau tidak ambil opsi lockdown seperti di beberapa negara, seperti Singapura yang paling dekat, itu adalah dengan meningkatkan sense of crisis," ungkap Bobby.
Baca: Sebar Hoax Corona, 22 Orang Jadi Tersangka
Baca: Waspada Covid-19, KBRI Paris Imbau Turis Indonesia Tunda Perjalanan ke Perancis
Peningkatan sense of crisis bisa dilakukan dengan cara sosialisasi mengenai bahaya virus corona sekaligus menginformasikan soal fasilitas kesehatan yang tersedia.
"Meningkatkan sense of crisis di masyarakat, baik itu dengan sosialisasi, dan juga kemampuan deteksi dini dari pemerintah," jelas Bobby.
Jika pemerintah mengambil opsi ini, maka pemerintah harus memastikan bahwa fasilitas kesehatan yang diinformasikan pada masyarakat sudah berstandar tinggi.
Faktanya, hingga saat ini fasilitas kesehatan untuk menangani Covid-19 dinilai masih kurang.
"Dan juga yang paling utama adalah memastikan infrastruktur kesehatan itu mampu melayani masyarakat," kata Bobby.
"Tadi sudah disampaikan infrastruktur isolasi itu masih sangat-sangat kurang," imbuhnya.
Menurut Bobby, pemerintah harus sejak dini memikirkan kemungkinan terburuk sehingga ada kesiapan matang untuk menghadapi corona.
"Kita perlu meningkatkan, misalkan, pemerintah langsung menghitung kalau ada 20.000 kasus, ini isolasinya di mana," paparnya.
"Jadi excercise untuk meningkatkan sense of crisis itulah jawabannya kalau tidak pakai lockdown," pungkasnya.
Berikut video lengkapnya:
Pengamat sebut lockdown sudah terlambat
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia Agus Pambagio menyebut semuanya memang sudah terlambat.
Jika sampai lockdown benar dilakukan dalam waktu dekat ini, maka biaya yang dibutuhkan akan sangat besar.
Dilansir Tribunnews.com, hal ini diungkapkan Agus dalam tayangan SAPA INDONESIA MALAM, kanal YouTube KOMPASTV, Minggu (15/3/2020).
Sebelum Agus berpendapat, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Fraksi Gerindra M Taufik serta Tenaga Ahli Utama KSP Brian Sriprahastuti sempat menjawab soal rencana lockdown.
Taufik condong dengan pendapat Gubernur Jakarta Anies Baswedan yang sempat menyinggung lockdown, sedangkan Brian condong pada keputusan pemerintah pusat untuk tidak lockdown.
Ketika diminta memilih dua pendapat itu, Agus menyebut memang kini semuanya sudah terlambat.
Agus menyebut dirinya sudah mengusulkan lockdown sejak Januari 2020 lalu ketika belum ada wabah corona di Indonesia.
"Kalau kita bicara pendekatan sekarang sudah terlambat," ucap Agus.
"Saya sudah ngomong seperti ini kira-kira bulan Januari, karena waktu itu kan kita masih (belum ada)," imbuhnya.
Agus sempat mengusulkan untuk memberlakukan lockdown di beberapa pintu masuk turis China seperti Manado, Bali, Jakarta, dan Riau.
Seharusnya lockdown di daerah tersebut sudah dilakukan sejak Januari 2020.
Namun jika lockdown dilakukan dalam waktu dekat ini, maka biaya yang dibutuhkan akan sangat besar.
"Misalnya me-lockdown-kan, Manado, Bali, Jakarta, dan Riau, karena itu pusat tempat turis dari China, baik charter maupun reguler datang, dari Singapura juga," terang Agus.
"Tapi kan tidak dilakukan, nah sekarang sudah menyebar, jadi kalau mau di-lockdown, cost-nya besar sekali," sambungnya.
Jika pemerintah memang ingin lakukan lockdown, maka harus direncanakan secara matang bagaimana pembagian logistik kepada masyarakat.
"Kemudian siapa yang membagi makanan, siapa yang mau membagi macam-macam, TNI atau polisi, kan harus di-manage dengan baik," ujar Agus.
Kini, bagi Agus, kebijakan lockdown kurang tepat, kecuali pemerintah memiliki biaya yang besar dan siap dikucurkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
"Iya (tidak bijak jika lockdown), bijak kalau ada uangnya, masalahnya ini perlu dana cukup besar, kemudian mekanismenya bagaimana," kata Agus.
Berikut video lengkapnya:
(Tribunnews.com/ Ifa Nabila)