2 Bulan Ada 4 Tersangka KPK Jadi DPO, Ini Respons Alexander Marwata
Sejak Januari hingga Februari 2020, sudah ada empat tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejak Januari hingga Februari 2020, sudah ada empat tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Buron pertama ialah Harun Masiku.
Bekas calon anggota legislatif Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu adalah tersangka dalam kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2019-2024.
Sejak digelarnya giat operasi tangkap tangan (OTT) pada 8 Januari 2020, Harun Masiku menghilang.
Baca: Pelaku Curas di Sumedang Berhasil Gasak Perhiasan Emas 60 Gram, Tapi Nasibnya Begini
KPK pun menetapkan bekas caleg daerah pemilihan Sumatera Selatan I itu sebagai DPO per 17 Januari 2020.
Buronan kedua, ketiga, dan keempat berasal dari kasus yang sama.
Mereka adalah eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi; menantu Nurhadi, Rezky Herbiyono; dan Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto.
Baca: Bernilai Rp 50 Miliar, Rumah Mewah Menantu Nurhadi Letaknya Hanya 300 Meter Dari Gelora Bung Karno
Tiga orang yang dijadikan tersangka pada 16 Desember 2019 dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi penanganan perkara di MA tahun 2011-2016 itu ditetapkan KPK sebagai buronan per 13 Februari 2020.
Dalam dua bulan ada empat tersangka jadi DPO, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata tidak terlalu memusingkan hal tersebut.
"Ya, kenapa?" ucap Alex sapaan karib Alexander di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (20/2/2020).
Ditanya soal Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diprediksi bakal merosot karena lambannya kinerja KPK, Alex menyebut pihaknya sudah bekerja sesuai aturan hukum.
Baca: Disebut Tak Becus Cokok Nurhadi, KPK Bilang Itu Ngawur
Katanya, KPK serius dalam mencari keempat buronan tersebut.
"Yang jelas KPK sudah mengeluarkan surat DPO, artinya kita serius untuk mencari orang itu. Kita sudah minta bantuan kepolisian, tentu itu penyidik di KPK sendiri Direktorat Monitor, tim dari KPK juga akan turun," kata Alex.
Ngawur
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar merespons pernyataan Direktur Lokataru Haris Azhar.
Haris sempat menyatakan KPK tidak berani mencokok eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi yang berstatus buron.
"Mana lah lembaga penegak hukum tak berani tangkap, wah ngawur lah, namanya KPK tetap mengupayakan. Tapi kan ada hal yang tidak bisa disampaikan ke publik, misal cara-caranya. Langkah secara umum sudah disampaikan, tapi langkah hukum sudah dilakukan dan ada keluar DPO," ujar Lili saat dimintai konfirmasi, Kamis (20/2/2020).
Lili juga sudah mendengar informasi yang mengatakan Nurhadi ada di Jakarta. Informasi itu sebelumnya datang dari Masyarakat Sipil Anti Korupsi (MAKI).
Baca: Haris Azhar Sebut Buron KPK Nurhadi Ada di Apartemen Mewah Jakarta, Dikawal Super Ketat
MAKI diketahui menggelar sayembara berhadiah dua iPhone 11 bagi masyarakat yang bisa melacak keberadaan buronan kasus korupsi Rp46 miliar itu. Kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman, informannya melapor Nurhadi ada di apartemen mewah SCBD, Jakarta Selatan.
"Informasi tersebut juga sudah diolah tim KPK untuk melakukan pencarian. Usaha terus dilakukan tim KPK. Jika sekarang belum berhasil tapi tetap tidak berhenti (mencari)," kata Lili.
Dalam perkara kasus dugaan suap dan gratifikasi penanganan perkara di MA tahun 2011-2016, KPK menetapkan eks Sekretaris MA Nurhadi; menantu Nurhadi, Riezky Herbiono; dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto sebagai tersangka. KPK belum melakukan penahanan terhadap ketiganya.
Nurhadi dan Rezky diduga menerima suap dan gratifikasi dengan total Rp46 miliar terkait pengurusan perkara di MA tahun 2011-2016.
Baca: Hakim PN Jakarta Selatan Tolak Praperadilan Nurhadi
Dalam kasus suap, Nurhadi dan menantunya diduga menerima uang dari dua pengurusan perkara perdata di MA. Pertama, melibatkan PT Multicon Indrajaya Terminal melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero).
Kemudian, terkait pengurusan perkara perdata sengketa saham di PT MIT dengan menerima Rp33,1 miliar.
Adapun terkait gratifikasi, tersangka Nurhadi melalui menantunya Rezky dalam rentang Oktober 2014-Agustus 2016 diduga menerima sejumlah uang dengan total sekitar Rp12,9 miliar terkait dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA dan permohonan perwalian.
Nurhadi dan Rezky disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu Hiendra disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b subsider Pasal 13 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam perjalanan kasus ini, KPK kemudian memasukkan tiga tersangka dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Status DPO itu diberikan karena sebelumnya tiga tersangka itu mangkir dari panggilan KPK untuk diperiksa sebagai tersangka sebanyak dua kali.