Sabtu, 4 Oktober 2025

Imlek 2020

Gus Dur, Kemeriahan Imlek dan Gelar Bapak Tionghoa Indonesia

Gus Dur memiliki andil cukup besar hingga akhirnya etnis Tionghoa di Indonesia dapat merayakan Imlek secara bebas.

Editor: Johnson Simanjuntak
KOMPAS.com / Agus Susanto
Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, berperan besar dibalik kemeriahan Tahun Baru Imlek di Indonesia selama ini. 

Keppres itu kemudian menjadikan etnis Tionghoa mulai merayakan Imlek secara terbuka.

Kemeriahan pun terlihat di perayaan Imlek, yang saat itu ditandai sebagai tahun Naga Emas.

Ornamen naga, lampion, dan angpau ikut terlihat terpasang indah di sejumlah pertokoan. Atraksi barongsai menjadikan perayaan Imlek semakin ceria.

Baca: 16 Fakta Unik Tahun Baru Imlek 2020, Termasuk Ada Larangan Mencuci dan Membuang Sampah

Akan tetapi, perayaan Imlek sebagai hari nasional baru dilakukan dua tahun sesudahnya, pada era Presiden Megawati Soekarnoputri.

Megawati menyampaikan penetapan tersebut saat menghadiri Peringatan Nasional Tahun Baru Imlek 2553 pada 17 Februari 2002.

Penetapan Imlek sebagai hari libur nasional baru dilakukan pada 2003.

Dalam Artikel Kompas berjudul Presiden Tetapkan Imlek Hari Nasional," Megawati menyampaikan penetapan tersebut saat menghadiri Peringatan Nasional Tahun Baru Imlek 2553 di Hall A Pekan Raya Jakarta, Kemayoran.

Dalam pidato di luar teks, Presiden Megawati mengatakan bahwa dirinya menangkap aspirasi yang berkembang di masyarakat Khonghucu.

"Tadi saya tahu panitia dan pengurus memberikan suatu sindiran supaya Tahun Baru Imlek dijadikan hari nasional. Demi kebersamaan kita sebagai warga dan bangsa, dengan ini saya nyatakan Tahun Baru Imlek sebagai hari nasional," kata Megawati saat itu.

Meski demikian, bukan berarti diskriminasi terhadap etnis Tionghoa hilang.

Pada 2004, Gus Dur pun mengakui masih ada ribuan peraturan diskriminatif yang belum dicabut.

"Masih ada 4.126 peraturan yang belum dicabut. Misalnya, soal SBKRI. Itu kan sesuatu yang tidak ada gunanya," kata Gus Dur dikutip dari harian Kompas yang terbit pada 11 Maret 2004.

"Di mana-mana di dunia, kalau orang lahir ya yang dipakai akta kelahiran, orang menikah ya surat kawin, tidak ada surat bukti kewarganegaraan. Karena itu, saya mengimbau kawan-kawan dari etnis Tionghoa agar berani membela haknya," ujar dia.

Baca: 8 Hidangan Khas Imlek dan Maknanya, Ayam Kodok jadi Simbol Keberuntungan

Gus Dur pun berharap semua elemen bangsa memberikan kesempatan kepada masyarakat Tionghoa dalam kehidupan bermasyarakat.

"Mereka adalah orang Indonesia, tidak boleh dikucilkan hanya diberi satu tempat saja. Kalau ada yang mencerca mereka tidak aktif di masyarakat, itu karena tidak diberi kesempatan," ucap Gus Dur.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved