Eksklusif Tribunnews
Pimpinan MPR Sambangi Markas Tribun: Bicara Langit Atur Cuaca Supaya Tidak Hujan Lebat
Bisa dimulai amandemen atau tidak. Kalau tidak berarti dari 2002 sampai hari ini kita lakukan saja yang ada. Sampai presiden ganti.
Kemudian penguatan DPD. Kemudian kekuasaan kamtibman, itu rekomendasi yang masuk dari dalam rencana amandemen terbatas. Berikutnya apakah ini masih relevan dengan teknologi dan perkembangan zaman masih mengacu pada Pasal 33. Sebenarnya Pasal 33 hanya menyebut tanah, bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya, kan sekarang sudah termasuk langit. Itu belum diatur.
Kita tahu bahwa presiden menyatakan kalau begitu tidak perlu amandemen. Tapi kan semua itu akan berpulang pada nanti keputusan parlemen bersama dengan pemerintah dan partai politik. Bagaimana nanti bentuknya kita lihat dinamika politik yang terjadi dan berkembang di masa yang akan datang.
Kebijakan awalnya adalah rekomendasi MPR sebelumnya itu pun juga ada cabangnya. Karena untuk GBHN menurut Golkar, PKS, dan Demokrat cukup Undang-Undang tidak perlu TAP MPR.
Sementara tujuh partai lain harus melalui TAP MPR atau amandemen. Sementara kita ingin segala yang ada di MPR harus kita ambil secara musyawarah mufakat supaya tidak ada pro kontra di tengah masyarakat.
Baca: Bamsoet Sarankan Pemindahan Ibu Kota Negara Ditetapkan Melalui TAP MPR
Tugas kita di MPR bicara langit saja. Mengatur cuaca supaya tidak hujan lebat, mengatur panasnya agar tidak kepanasan semua kita mengatur suhu politik sejuk. Sementara lalu lintasnya urusan di DPR. Jadi urusan kita langit saja ha-ha.
Hidayat Nur Wahid:
Jadi pada periode di bawah kepemimpinan pak Bambang Soesatyo memang ingin bukan hanya menindaklanjuti rekomendasi tapi mengkokohkan sistem kemusyawaratan. Karena ketika pemilihan MPR supaya kita musyawarah mufakat.
Sekarang kita bertemu dengan bapak di Tribun, sebelumnya Kompas, NU, Muhammadiyah, partai-partai politik, ini cara kami untuk membumikan musyawarah secara jemput bola.

Jadi kami datang ke stakeholder. Untuk mendengarkan aspirasi, masukan, saran dengan beragam hal yang menjadi kewenangan MPR yang kita laksanakan sekarang. Gaya kepemimpinan baru di bawah pak Bambang. Karenanya kami datang kemari sangat siap kalau rekan-rekan datang ke MPR untuk menyampaikan aspirasinya.
Jazilul Fawaid :
Saya hanya nambahin sedikit bahwa di dalam demokrasi Indonesia kita mengalami pasang surut. Dan terakhir kita sebut era reformasi yang ditandai amandemen ini. Mengamandemen sampai empat kali. Setelah 2002 ini sampai hari ini apakah tidak perlu reformasi? Dan era ini menurut saya momentum karena pimpinan MPR ini yang terbesar sepanjang sejarah ada 10.
Ditandai kekuatan fraksi dan DPD. Gampang saja kalau semua bersepakat terjadilah amandemen. Karena di depan duduk semua. Justru menurut saya wacana amandemen itu lahir dari dua periode masa kepemimpinan MPR yang tidak melakukan amandemen sehingga diamanatkan ke 10 orang yang ada.
Menurut saya ini momentum untuk melakukan reformasi jilid II untuk mengoreksi kembali yang ada.

Atau melanjutkan kalau perlu karena banyaknya masukan. Sampai sekarang bingung kita mulai dari mana amandemen. Muncul GBHN, jabatan tiga periode, Indonesia terlalu luas, kemarin diskusi sepertinya wakil presiden tidak cukup satu.
Setelah kami lihat di Iran wakil presiden ada tujuh. Sekarang kita mau apakah amandemen ada korelasi dengan perbaikan keadaan Indonesia kalau tidak, tidak usah. Karena itu kita perlu masukan perlu perbaikan atau tidak.
Baca: Bamsoet Pastikan Penambahan Masa Jabatan Presiden Tak Masuk Rancangan Amandemen UUD 1945
Bisa dimulai amandemen atau tidak. Kalau tidak berarti dari 2002 sampai hari ini kita lakukan saja yang ada. Sampai presiden ganti.
Baca: Ma’ruf Cahyono: Kewarganegaraan Menjadi Fokus Kajian MPR
Tapi maksud saya ini yang kemudian penting silaturahmi kebangsaan yang digagas pak Bambang itu menghimpun kekuatan supaya kita tidak jalan di tempat.
Supaya ada langkah-langkah tambah hari kita tidak terlalu menjanjikan dengan konstitusi yang ada. Bahkan ada narasi yang lain, kita kembali saja yang lama.