Soal Usulan Presiden Dipilih MPR, Pengamat: Ada 2 Pilihan, Tidak Stabil atau Jadi Diktator
Peneliti SMRC Saidiman Ahmad menyatakan, pemilihan presiden melalui MPR hanya akan membentuk dua kondisi, yaitu tidak stabil atau menjadi diktator.
TRIBUNNEWS.COM - Peneliti SMRC Saidiman Ahmad memberikan tanggapannya terkait adanya usulan pemilihan presiden oleh MPR.
Dalam acara 'Dua Arah' yang diunggah di kanal Youtube Kompas TV pada Jumat (6/12/2019), Saidiman menyatakan, pemilihan presiden melalui MPR hanya akan membentuk dua kondisi, yaitu tidak stabil atau menjadi diktator.
"Ada dua pilihan, tidak stabil atau menjadi diktator. Itu yang terjadi di dalam pemilihan (melalui) MPR," kata Saidiman.
Hal itu disampaikannya berdasarkan sejarah yang dimiliki Indonesia saat pemilihan presiden dilakukan secara tidak langsung.
Menurutnya, pemilihan presiden oleh MPR menjadikan pemakzulan dapat terjadi setiap saat.

"Jangan lupa, salah satu kekurangan pemilihan oleh MPR itu adalah pemakzulan itu bisa terjadi setiap saat seperti terjadi di orde lama, ataupun di awal (pemerintahan) Gus Dur," ujar Saidiman.
Saidiman Ahmad pun membantah adanya pernyataan bahwa pemilihan langsung lebih berpotensi menimbulkan perpecahan dibanding dengan pemilihan oleh MPR.
"Saya ingin membantah yang menyatakan perpecahan lebih potensial terjadi di pemilihan langsung daripada pemilihan MPR," ujar Saidiman, seperti yang ditayangkan Kompas TV.
Menurutnya, pemilihan presiden melalui MPR justru berpotensi menimbulkan konflik sosial yang begitu besar.
"Itu (pemilihan presiden melalui MPR) justru menimbulkan konflik sosial yang begitu besar," ujar Saidiman.
"Jangan lupa, dulu Gus Dur punya pasukan berani mati, orang-orang NU datang ke Jakarta dan itu kalau Gus Dur bukan seorang negarawan, bisa kacau itu," sambungnya.
Lebih lanjut, Saidiman mengatakan pemilihan presiden melalui MPR juga pernah memunculkan kediktatoran dalam melakukan stabilisasi.
"Kalaupun tidak terjadi distablitas yang terjadi terus-menerus, untuk melakukan stabilisasi itu biasanya dilakukan melalui kediktatoran seperti yang dilakukan oleh Soeharto,"
Sebelumnya, diketahui, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengusulkan agar pemilihan presiden kembali dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Usulan tersebut disampaikan saat MPR melakukan safari politik ke PBNU, pada Rabu (27/11/2019).
Dilansir dari Kompas.com, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengatakan, usulan tersebut disampaikan berdasarkan pertimbangan mengenai mudarat dan manfaat Pilpres secara langsung.
Menurut Said, pertimbangan tersebut bukan hanya dari pengurus PBNU saja.
Melainkan, juga dari pertimbangan para pendahulu, seperti Rais Aam PBNU, almarhum Sahal Mahfudz, dan Mustofa Bisri.
Mereka menimbang, pemilihan presiden secara langsung lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya.
"Pilpres langsung itu high cost, terutama cost sosial," ujar Said.
Wapres Minta Usulan PBNU Didialogkan Lebih Dahulu
Wakil Presiden Ma'ruf Amin telah menanggapi usulan PBNU tersebut.
Dilansir dari Kompas.com, terkait usulan pemilihan presiden melalui MPR, Ma'ruf Amin menyatakan sebaiknya usulan PBNU itu didialogkan terlebih dahulu.
"Bagaimana nanti biarlah di MPR dibahas, nanti yang setuju dan tidak setuju bisa menyampaikan pendapatnya, kita ikuti saja," kata Ma'ruf Amin, Kamis (27/11/2019), seperti yang diberitakan Kompas.com.
"Didialogkan dulu mana yang lebih bagus," sambungnya.
Dia mengatakan, mekanisme terbaik dalam pemilihan presiden memang sedang dicari.
Menurutnya, persoalan tak dapat disikapi dengan statis.
"Kalau ada alternatif lain yang bagus ya, kita cari," kata Ma'ruf Amin.
"Jadi tidak statis dalam menyikapi satu persoalan itu," lanjutnya.
Lebih lanjut, Ma'ruf mencontohkan UUD 1945 yang juga telah berubah.
Hingga kini, UUD 1945 telah diamandemen hingga empat kali sejak dibuat.
"Jadi dinamis berpikirnya, mencari yang terbaik untuk bangsa ini," ujar Ma'ruf.
"Saya tidak memberi pendapat dulu, kita bahas dulu," lanjutnya.
(Tribunnews.com./Widyadewi Metta) (Kompas.com/Fitria Chusna Farisa/Deti Mega Purnamasari)