Haris Azhar Minta Penanganan Pemulihan Aset di Kejaksaan Agung RI
Penanganan ‘Pemulihan Aset’ di tubuh institusi Kejaksaan Agung RI berpotensi memberikan dampak besar untuk proses penegakkan hukum di Indonesia.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, Jakarta - Lokataru, Kantor Hukum dan HAM, meminta agar Jaksa Agung ST Burhanuddin sesegera mungkin mengambil tanggung jawab dalam penanganan Pemulihan Aset (Asset Recovery) hasil dari penegakan hukum.
Penanganan ‘Pemulihan Aset’ di tubuh institusi Kejaksaan Agung RI berpotensi memberikan dampak besar untuk proses penegakan hukum di Indonesia.
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar, menyampaikan telah menemukan banyak masalah ihwal penanganan pemulihan aset oleh institusi Kejaksaan Agung RI.
Di antaranya, kurangnya pemahaman terkait proses penanganan aset, banyaknya aset-aset terpidana yang disalah gunakan oleh Jaksa sebagai eksekutor putusan, hingga regulasi yang masih belum tersusun secara baik.
Baca: Komnas HAM Minta Jaksa Agung Klarifikasi dan Batalkan Syarat CPNS 2019 yang Dinilai Diskriminatif
"Kendala-kendala tersebut berdampak tidak optimal dan terhambatnya proses pemulihan aset oleh Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Agung RI," kata Haris dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Jumat (29/11/2019).
Dalam temuan-temuannya, Haris menuturkan, pihaknya mengendus adanya modus-modus yang digunakan oleh oknum Jaksa untuk memainkan aset-aset Terpidana.
Dugaan pertama, pasca putusan pengadilan memiliki kekuatan hukum, para oknum Jaksa Penuntut Umum tidak melaporkan daftar barang maupun nominal barang rampasan dan sita eksekusi kepada institusi yang berwenang untuk mengurus kekayaan negara seperti Bank Indonesia maupun Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Baca: Jaksa Agung Pertanyakan Anggaran Menteri Agama Yang Ingin Berangkatkan Umrah Korban First Travel
"Kedua, Aset-aset yang dikuasai oleh Kejaksaan dijual secara di bawah tangan kepada pihak ketiga tanpa proses-proses sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang penanganan aset," ungkapnya.
Dugaan yang ketiga ialah aset Terpidana yang dirampas oleh Penuntut Umum melebihi aset yang dirampas dan disita berdasarkan putusan. Keempat, Pemalsuan Dokumen-dokumen yang dilakukan oleh oknum Penuntut Umum guna kepentingan pengalihan kepemilikan aset yang berupa tanah kepada pihak ketiga.
Terakhir, penggunaan pihak ketiga sebagai pihak yang seolah-olah akan mengurus, melunasi atau membayar uang pengganti atas nama Terpidana.
"Kelima hal di atas, merupakan modus yang tidak jarang ditemui dan digunakan oleh oknum Kejaksaan untuk menguasai aset Terpidana dan digunakan guna kepentingan pribadi," ungkapnya.
Baca: Haris Azhar: KKR Harus Ungkap Fakta Praktik Kriminalitas Sebuah Rezim
Sebagai contoh adanya modus-modus tersebut, ia menyatakan dapat dilihat dari proses penanganan aset terhadap Terpidana Lee Darmawan oleh Kejaksaan. Ketika itu, terdapat indikasi keterlibatan oknum Kejaksaan dalam menjual aset Terpidana Lee Darmawan kepada pengembang secara tidak transparan dan melawan hukum.
Kemudian hingga kini Kejaksaan juga terganjal banyak masalah terkait pengurusan aset berupa tanahmilik Terpidana Hendra Rahardja, salah satunya yang di Kragilan, Banten.
"Tidak hanya temuan-temuan tersebut yang membuktikan adanya carut marutnya penanganan aset di tubuh Kejaksaan, tidak harmonisnya aturan internal mengenai pemulihan aset dan siapa yang paling berwenang dalam melakukan pengendalian proses penanganan pemulihan aset antara Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Jaksa Agung Muda Pidana Umum dengan Pusat Pemulihan Aset dalam mengurus aset Terpidana menjadi persoalan selanjutnya yang harus segera dituntaskan demi mencapai tujuan dari pemulihan aset itu sendiri yakni penegakkan hukum secara total," jelasnya.