Amandemen UUD 1945
PBNU Usul Utusan Golongan di Parlemen Kembali Dihidupkan
PBNU mengusulkan adanya perwakilan atau utusan golongan untuk menjadi anggota parlemen.
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PBNU mengusulkan adanya perwakilan atau utusan golongan untuk menjadi anggota parlemen.
Ketua MPR, Bambang Soesatyo, mengungkapkan usulan tersebut disampaikan pengurus PBNU kepada pimpinan MPR.
"PBNU merasa penting untuk mendorong terjadinya tambahan atau kembali ke adanya utusan golongan karena hari-hari ini sepertinya kita terjebak pada demokrasi angka-angka," ujar Bamsoet di kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2019).
Baca: Saut Situmorang Pilih Jadi Intelijen Setelah Dirinya Tidak Lagi Menjabat Sebagai Wakil Ketua KPK
Bamsoet mengatakan usulan dari PBNU tersebut untuk mengakomodir aspirasi kelompok minoritas.
"Dimana tidak ada, kecil, keterwakilan yang ada di parlemen baik DPD, DPR yang mewakili aspirasi kelompok minoritas. Sehingga perlu dipikirkan kembali adanya keputusan golongan," kata Bamsoet.
Sekadar informasi, konsep perwakilan utusan golongan sendiri pernah ada saat era Orde Baru.
Keberadaan utusan golongan lalu dihapus melalui Amandemen UUD 1945 pada tahun 1999.
Baca: Mahfud MD Berharap Acara Reuni 212 Diatur Baik Agar Tidak Timbulkan Keributan dan Pelanggaran Hukum
Selain itu, PBNU, juga meminta MPR serius untuk menangani masalah pemerataan ekonomi.
PBNU juga meminta agar Garis-garis Besar Haluan Negara dihidupkan kembali.
"Kemudian PBNU juga merasa penting adanya lagi haluan negara karena itu untuk memberikan arahan jelas akan ekonomi Indonesia ke depan," ucap Bamsoet.
Baca: PBNU Usulkan Pemilihan Presiden Dikembalikan ke MPR
Sementara itu, Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj, menegaskan bahwa amandemen UUD 1945 merupakan suatu keharusan. Dirinya mengembalikan mekanisme amandemen kepada MPR.
"Mau amandemen terbatas atau menyeluruh kita serahkan ke bapak-bapak ini. Tapi bahwa amandemen sudah keharusan, ada amandemen 1945 soal terbatas dan menyeluruh kita kembalikan ke MPR," tutur Said Aqil.
Seperti diketahui, para pimpinan MPR mengunjungi PBNU untuk meminta masukan terkait Amandemen UUD 1945.
Selain Bamsoet, dalam kunjungan ini hadir pula pimpinan MPR lainnya, yakni Ahmad Basarah, Hidayat Nur Wahid, Jazilul Fawaid, dan Fadel Muhammad.
Perjuangkan pengesahan RUU KUHP
PBNU meminta DPR dan MPR mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang pembahasannya masih ditunda.
Hal tersebut disampaikan pengurus PBNU saat pertemuan dengan pimpinan MPR di kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2019).
"PBNU mendesak agar DPR mengesahkan RUU KUHP yang pengambilan keputusan tingkat satu sudah dilakukan," ujar Ketua MPR, Bambang Soesatyo, di kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2019).
Baca: Bamsoet Minta Restu PBNU Maju Sebagai Caketum Golkar
Menurut Bamsoet, pengesahan RUU KUHP tinggal disahkan melalui rapat paripurna di DPR.
Dirinya mengklaim PBNU meminta MPR dan DPR memperjuangkan pengesahan tersebut.
"Hanya tinggal ketuk palu di tingkat rapat paripurna. Meminta kami di MPR maupun DPR untuk memperjuangkannya," kata Bamsoet.
Baca: Omnibus Law Akan “Membuldoser” 74 Regulasi
Selain itu, Bamsoet juga menyebut bahwa PBNU menginginkan agar MPR dikembalikan sebagai lembaga tertinggi negara.
Bamsoet membeberkan alasan PBNU adalah agar tidak terjadi kerancuan dalam sistem tata negara di Indonesia.
"PBNU mendorong sebagai lembaga tertinggi negara, agar tata negara kita lebih rapi, karena sekarang gak ada yang tertinggi sehingga terjadi kerancuan," ucap Bamsoet.
Baca: Penunjukan Susi, Jonan, dan Rudiantara Jadi Bos BUMN Dinilai Sebagai Pemberdayaan Lanjutan
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan, RKUHP bersama Rancangan Undang-Undang (RUU) Permasyarakatan, RUU Mahkamah Konstitusi dan RUU Jabatan Hakim akan masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) 2020.
DPR menunda pembahasan empat rancangan undang-undang (RUU) sesuai permintaan Presiden Joko Widodo.
Presiden Jokowi meminta DPR menunda pembahasan RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Lembaga Pemasyarakatan (PAS) setelah terjadi penolakan dari masyarakat.