Pengaturan Sampah oleh Pemerintah Dinilai Sangat Mendesak
Pola ini berjalan karena dilandasi mindset bahwa sampah tidak berguna dan harus dibuang.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selama berpuluh tahun, pola penanganan sampah di Indonesia sangat sederhana, yakni kumpul, angkut, dan buang.
Pola ini berjalan karena dilandasi mindset bahwa sampah tidak berguna dan harus dibuang.
Padahal UU Nomor 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan perlunya perubahan mendasar tata kelola sampah, tidak sekedar mengurangi, tapi menangani sampah hingga titik daur ulang.
Industri pengemasan dituntut untuk mewujudkan kemasan yang baik dan ramah lingkungan.
Tuntutan ini mengemuka dalam acara Global Packaging Conference (GPC) yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, awal November lalu.
Isu ramah lingkungan menjadi salah satu poin penting yang dibahas di acara GPC karena terkait maraknya tudingan bahwa produk plastik sebagai biang kerok pencemaran lingkungan sehingga tak ayal plastik dimusuhi dan dilarang keberadaanya.
Baca: Noorsy: Tim Ekonomi Rangkap Jabatan Membuat Indonesia dalam Lingkaran Krisis Ekonomi
Sejumlah aktivis lingkungan marak menggelar kampanye menolak plastik.
Bahkan di beberapa kementerian dilarang penggunaan plastik sekali pakai, seperti kantong kresek dan minuman berbotol plastik.
Merespon tudingan terhadap plastik, industri pengemasan tertantang untuk bisa menyediakan kemasan yang tidak hanya baik dan berkualitas, tetapi juga ramah lingkungan. Hal ini ditegaskan Ketua Federasi Pengemasan Indonesia (IPF), Henky Wibawa.
Menurut Henky, kriteria ramah lingkungan yang dimaksud bahwa kemasan itu nantinya tidak menjadi sampah yang mencemari lingkungan.
“Idealnya kemasan itu bisa di daur ulang,” tegas Henky di Jakarta, Kamis (14/11/2019).
Dengan bantuan teknologi kami berharap kemasan yang bisa di daur ulang menjadi solusi inovatif terhadap masalah sampah plastik di Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI), Christine Halim mengatakan, setuju daur ulang menjadi solusi dalam mengatasi sampah botol plastik.
Baca: Penanganan Sampah Plastik Menjadi Rekomendasi Politik pada Kongres Nasdem
Selama ini, kata Christine, plastik kerap dituding sebagai biang keladi persoalan sampah plastik.
“Padahal bukan plastiknya yang salah, tetapi cara kita mengendalikan sampah plastik yang belum benar,” ujarnya.
Sejauh ini, pola penanganan sampah di Indonesia hanya melalui tahapan paling sederhana, yakni mengumpulkan, mengangkut, lalu membuang.
Pola penanganan sampah ini sudah berlangsung puluhan tahun, dan seolah-olah dianggap sebagai kebijakan umum dari pemerintah.
Baca: TRIBUNNEWSWIKI - Mengenal Profesi Aparatur Sipil Negara (ASN)
Padahal pola pengelolaan sampah ini karena dilandasi mindset bahwa sampah tidak berguna sehingga harus dibuang.
Sedangkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah sudah mengamanatkan untuk mengubah paradigma pengelolaan sampah. Sesuai Pasal 19 UU tersebut, pengelolaan sampah dibagi dalam dua kegiatan pokok yakni pengurangan sampah dan penanganan sampah.
Dalam kegiatan pengurangan sampah seharusnya ada tiga aktivitas utama, yang merupakan perwujudan dari prinsip pengelolaan sampah berwawasan lingkungan. Ketiganya adalah pembatasan timbunan sampah, melakukan daur ulang sampah dan pemanfaatan kembali sampah.
Sedangkan dalam kegiatan penanganan sampah, ada lima aktivitas utama yang seharusnya dilakukan, yaitu pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah.
Baca: Mencuat Isu Dana Desa Fiktif, Pengamat Sebut Pemerintah Lemah dalam Melakukan Verifikasi
Sehingga, paradigma lama bahwa sampah hanya dikumpulkan, diangkut dan dibuang, seharusnya tidak lagi digunakan.
Tapi masalahnya adalah, pemerintah hingga saat ini belum membuat kebijakan turunan yang integral sebagai implementasi dari UU Pengelolaan Sampah tersebut.
Timbunan Sampah dan Tanggung Jawab Produsen
Dengan belum adanya kebijakan pengaturan sampah yang integral sebagai implementasi UU Nomor 18/2008 tersebut, kegiatan pengurangan sampah dan penanganan sampah tidak berjalan dengan semestinya.
Padahal, bila ditangani serius, dampak yang ditimbulkan sampah terhadap lingkungan dan gangguan kesehatan bisa diminimalisir.
Lihat saja tumpukan limbah yang menggunung di TPST Bantargebang, Bekasi, karena
setiap harinya mendapat kiriman 6.500 hingga 7.000 ton sampah dari DKI Jakarta.
Data Sustainable Waste Indonesia (SWI) menyebutkan kurang dari 10 persen sampah plastik yang bisa didaur ulang. Sebanyak 60-70 persen ditampung di tempat pembuangan akhir (TPA) dan 15-30 persen belum terkelola.
Baca: Saran Rizal Ramli untuk Pemerintah: Lebih Baik Fokus Persoalan Ekonomi
Dari 15-30 persen sampah plastik yang belum terkelola ini berakhir terbuang ke lingkungan, terutama ke sungai, danau, pantai, dan laut.
“Seharusnya, dengan melakukan daur ulang sampah plastik dan menggunakan kembali produk daur ulang, dapat mengurangi penumpukan sampah di TPA,” tegas Christine Halim.
Ia menyatakan industri daur ulang plastik telah berkembang pesat, terutama untuk jenis plastik yang memiliki nilai ekonomis seperti PET dan PP. “Tingkat daur ulang PET dan PP mencapai di atas 50%," ujarnya.
Potensi bisnis daur ulang plastik cukup besar karena tahun lalu, dari konsumsi plastik sekitar 3-4 juta ton per tahun, bisnis daur ulang bisa mencapai 400.000 ton per tahun.
Anggota ADUPI mencapai 400 anggota, dengan industri daur ulang kecil-kecil mencapai ribuan. Tenaga kerja yang terserap, mulai dari pemasok, pemulung, hingga ke penjualan, sekitar 3,5 juta-4 juta orang.
Baca: Lindungi Sungai di Pulau Bali dari Sampah Melalui Pemasangan 100 Trash Booms
Komunitas Plastik untuk Kebaikan (KPUK) sepakat plastik bukan untuk dihindari tetapi digunakan secara bijak.
Menurut Enni Saeni, Koordinator KPUK, komunitasnya akan membangun budaya memperlakukan sampah plastik dengan bijak.
“Kedepan kami akan melakukan edukasi kepada masyarakat untuk mengelola sampah rumah tangga secara mandiri," katanya.
Enny menegaskan, Komunitas PUK juga akan menerima sampah plastik yang sudah dikumpulkan oleh warga, dan ditukar dengan sembako murah.
“Ke depan, akan ada mobil komunitas yang akan berkeliling Jakarta, untuk membeli sampah-sampah plastik dari pemulung dan warga untuk ditukar dengan sembako murah,” ujarnya.
Namun Enni mengatakan, Komunitas PUK saat ini baru bisa menerima sampah botol pet. Karena sampah jenis lain, seperti kantong plastik, kemasan sachet dan kemasan produk lainnya masih sulit dijual kembali.
“Demand industri terhadap sampah kemasan sachet dan kantong plastik masih kecil,” tambahnya. Ia berharap ke depan sampah plastik jenis lain bisa dibangun demandnya melalui tempat-tempat pembelian sampah plastik
Persoalan masih kecilnya demand industri terhadap sampah kemasan sachet tentu menjadi masalah pelik.
Fakta menunjukkan bahwa tidak semua plastik sama. Tidak semua jenis plastik dapat didaur ulang. Saat ini demand industri yang besar hanya terhadap daur ulang plastik botol PET.
Ini menjadi tantangan bagi produsen pengguna kemasan plastik bagi produknya untuk bertanggung jawab terhadap sampah dari kemasannya.
Produsen seharusnya mengurangi penggunaan kemasan yang sulit didaur ulang, seperti kemasan sachet.
Produsen juga selayaknya bertanggung jawab mencari solusi bagi tumbuhnya demand industri atas hasil daur ulang kemasan produknya.
Dengan kebijakan pengaturan sampah yang integral dari pemerintah, serta tanggung jawab produsen untuk menangani sampah dari kemasan produknya tentu akan sangat mendukung tujuan pemerintah Indonesia mengurangi 70 persen sampah plastik di lautan pada 2025.