Ketua MPR: GBHN Dibutuhkan agar Tidak Terjadi Inkonsistensi Pembangunan
"Namun, yang jauh lebih penting, perubahan Undang-Undang Dasar bukanlah semata-mata perhitungan matematis sebagaimana diatur
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menjelaskan, mengatasi perdebatan tersebut, MPR RI melalui Badan Pengkajian MPR RI dan Komisi Kajian Ketatanegaraan terlebih dahulu akan menyusun substansi Pokok-Pokok Haluan Negara.
Substansi tersebut harus mampu menggambarkan wajah Indonesia pada tahun 2045, ketika usia kemerdekaan Indonesia genap satu abad. Mampu menjawab kebutuhan Indonesia ke depan yang relevan dengan tatanan kehidupan bernegara di era milenial yang sangat dipengaruhi Revolusi Industri 4.0.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, setelah MPR RI berhasil menyusun substansi dari Pokok-Pokok Haluan Negara, barulah dimusyawarahkan mengenai bentuk hukum apa yang paling pas dilekatkan pada Pokok-Pokok Haluan Negara tersebut.
Aapakah dalam bentuk Ketetapan MPR RI atau cukup Undang-Undang saja. Tanpa adanya substansi, maka perdebatan mengenai gagasan menghadirkan kembali GBHN akan menjadi sia-sia.
Baca: PDIP Tegaskan Dukung Amandemen Terbatas untuk GBHN
"Dengan perkataan lain, bagaimana mungkin kita memperdebatkan baju hukumnya, sementara substansi yang akan diberi baju hukum itu sendiri belum ada," ujar Bamsoet.
Kesimpulannya, Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menerangkan, jalan menuju perubahan terbatas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 masih panjang dan tidak mudah.
Untuk sekadar mengusulkan perubahan pasal-pasal di dalam Undang-Undang Dasar saja memerlukan sekurang kurangnya 1/3 anggota MPR RI atau 237 pengusul. Kuorum rapat untuk membahas usul perubahan harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR RI atau 474 anggota.
Usul perubahan harus disetujui oleh lima puluh persen ditambah satu dari seluruh anggota MPR atau 357 anggota.
"Namun, yang jauh lebih penting, perubahan Undang-Undang Dasar bukanlah semata-mata perhitungan matematis sebagaimana diatur di dalam Pasal 37, tetapi memerlukan konsensus politik seluruh kekuatan politik," kata dia.
"Tidak boleh ada voting dalam urusan hukum dasar ini. Dan, yang jauh lebih penting adalah seluruh rakyat Indonesia memang membutuhkannya," Bamsoet memastikan.