Jumat, 3 Oktober 2025

Masyarakat Adat Sihaporas Mengadukan Permasalahan Lahan Kepada Partai NasDem

DPP Partai NasDem bidang masyakakat adat menerima perwakilan Masyarakat Adat Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kebupaten Simalungun

Tribunnews.com/ Fransiskus Adhiyuda
Anggota DPR RI Fraksi NasDem Martin Manurung menerima dokumen dari Ketua Umum Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) Judin Ambarita dan Wakil Ketua Umum Lamtoras Mangitua Ambarita (Ompu Morris) di Kantor DPP Partai Nasdem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Selasa (8/10/2019). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPP Partai NasDem bidang masyakakat adat menerima perwakilan Masyarakat Adat Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kebupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Pantauan Tribunnews.com, Wakil Sekretaris Jenderal Partai NasDem Hermawi Taslim menerima perwakilan Masyarakat Adat Desa Sihaporas di Kantor DPP Partai Nasdem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Selasa (8/10/2019).

Tampak hadir perwakilan masyarakat adat adalah Ketua Umum Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) Judin Ambarita, Wakil Ketua Umum Lamtoras Mangitua Ambarita (Ompu Morris), dan perwakilan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Baca: Garuda Select Angkatan Kedua Akan Jalani Uji Coba Empat Klub Italia kata Ratu Tisha Sekjen PSSI

Baca: Kronologi Terbongkarnya Praktik Prostitusi di Cipanas, Tawarkan Lady Boy hingga PSK

Anggota DPR RI Fraksi NasDem Martin Manurung pun tampak hadir menerima kedatangan perwakilan masyatakat adat Sihaporas.

Dalam kunjugannya, Mangitua Ambarita menyampaikan sejumlah permasalah di Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kebupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Menurutnya, sejak lama, masyarakat adat terlibat konflik lahan dengan PT TPL.

Mulanya, masyarakat adat mempunyai hak ulayat seluas 2.000 hektar di desanya.

Nenek moyang mereka yang bermigrasi dari Pulau Samosir ke Simalungun sudah mengusahakan lahan sejak tahun 1.800-an.

Ketika itu, lahan dimanfaatkan untuk bertani, mencari hasil hutan, dan tempat pemakaman.

Namun, pada 1910-an, lahan tersebut diambil penjajah Belanda dari masyarakat adat dan menanam pinus di sana.

Baca: Begal Sadis Ditembak Saat akan Ditangkap, Beraksi Ratusan Kali dan Korbannya Pengemudi

Ketika Indonesia merdeka, Belanda meninggalkan lahan itu dan pemerintah memasukkan sebagai kawasan hutan.

Namun, pada 1990-an, pemerintah memberikan lahan itu sebagai konsesi hutan tanaman industri kepada TPL.

Sejak saat itu konflik lahan antara masyarakat adat dan TPL berulang kali terjadi.

"Kami sebenarnya bukan lagi pendatang baru, karena kami generasi ke delapan. Tapi pada merdeka Indonesia yang kami harapkan tadinya mau dikembalikan tanah ke kami ternyata diambil negara. Dimasukkan ke kehutanan. Tahun 1992 diberi konsesi kepada PT Ilu yang sekarang berganti nama menjadi TPL," ucap Mangitua Ambarita.

Puncaknya, pada 16 September 2019 lalu, Suasana Desa Sihaporas mencekam setelah terjadi bentrok antara masyarakat adat dengan pekerja PT TPL.

Perkelahian bermula saat masyarakat adat Desa Sihaporas menanam pisang dan jagung di hutan tanaman industri eukaliptus yang telah dipanen TPL.

Baca: Kenangan Rudiantara 5 Tahun Bertugas Sebagai Menkominfo

Masyarakat adat mengklaim lahan itu sebagai tanah ulayat Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras).

Pihak TPL dan masyarakat adat pun sempat berdialog.

Namun, karena situasi memanas, perkelahian tidak bisa terelakkan.

Baik TPL maupun masyarakat adat melaporkan dugaan penganiayaan ke Polres Simalungun setelah perkelahian itu.

Ketakutan semakin melanda setelah ada penangkapan dan penahanan terhadap dua pengurus Lembaga Adat Lamtoras, yakni Thomson Ambarita (bendahara) dan Jonny Ambarita (sekretaris).

Padahal, lahan warga merupakan warisan nenek moyang yang sudah dihuni selama delapan generasi atau kurang lebih 200 tahun.

Tanah itu lalu dipinjam paksa oleh penjajah Belanda sekitar 1913 dari generasi kelima keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita.

Hal itu terbukti dalam peta Enclave 1916, 29 tahun sebelum Indonesia merdeka, terdapat tiga titik nama lokasi Sihaporas, yakni Sihaporas Negeri Dolok, Sihaporas, dan Sihaproas Bolon.

"Kami menanam jagung disana, dan kami memang dengan cara demikian menunjukkan bahwa itu tanah kami, dari pihak TPL lewat humasnya beserta 20an orang petugas keamanan melarang kami dengan cara kasar," katanya.

Menurutnya, saat itu petugas keamanan meminta masyarakat menunjukan suratnya.

"Terus saya jawab ada di rumah, saya telepon anak saya untuk mengantar surat, tapi mereka memancing untuk bertengkar," ujarnya.

Akibatnya perselisihan pun tidak terelakan.

Baca: Alasan Ruben Onsu Sebut Betrand Peto Mirip dengan Dirinya dan Sarwendah

"Didorongkanlah teman kami, dia melakukan kekerasan hingga terkena seorang anak kawan kami yang digendong di belakang. Di situlah terjadi baku hantam," ujar Mangitua Ambarita.

Untuk itu, ia berharap melalui Partai NasDem bisa menjadi jembatan komunikasi terkait permasalahan lahan dan masalah hukum yang menimpa Masyarakat Adat Desa Sihaporas.

"Kami berharap kepada Partai Nadem karena mendengar Nasdem respon terhadap masyarakat makannya kami tertarik kesini. Kami sangat mengharapkan kalau bisa 2 orang (yang di tahan kepolisian,red) setidaknya ditangguhkan karena masih memiliki anak-anak yang sekolah," ucapnya.

Sebelumya, Masyarakat Adat Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kebupaten Simalungun, Sumatera Utara juga telah melaporkan hal tersebut ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved