Pemilu Serentak Tak Sesuai Asas, Perludem Ajukan Uji Materi ke MK
Sidang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Palguna dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Enny Nurbaningsih.
Atas dasar itu, pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu sepanjang frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak yang terbagi atas pemilu serentak nasional untuk memilih DPR, Presiden, dan DPD, dan dua tahun setelah pemilu serentak nasional dilaksanakan pemilu serentak daerah untuk memilih DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur, Bupati, dan Walikota.”
Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Enny meminta pemohon membuat uraian yang jelas dengan dasar argumentasi yang kuat sehingga permohonan pemohon tidak hanya mengutarakan narasi implimentasi tentang dampak dari penyelenggaraan pemilu serentak, seperti adanya korban jiwa dan lainnya.
Dia belum mendapati gambaran utuh soal inkonstitusionalitas norma yang telah merugikan pemohon. Hal yang dilihat Enny lebih kepada keinginan pemohon menggeser pendirian Mahkamah tentang penyelenggaraan pemilu serentak.
“Dalam hal ini, pemohon menginginkan tidak lagi ada keserentakan antara pemilihan DPRD dengan pemilihan Presiden, DPR, dan DPD karena DPRD diharapkan pemilihan serentaknya bergabung dengan pemilihan kepala daerah,” terang Enny.
Sementara itu, hakim konstitusi I Dewa Palguna melihat argumentasi pemohon secara keseluruhan berangkat dari asumsi pemilu sama dengan pilkada. Sehingga, kata dia rentetan yang perlu dipahami pemohon dari konsekuensi yang diajukan adalah penyelesaian perkara pemilihan umum yang kemudian menjadi bagian dari kewenangan MK yang turut juga berpengaruh.
“Asumsi permohonan pemohon ini kemudian dapat saja melahirkan konsekuensi untuk membuat UU baru karena terkait dengan banyak hal, termasuk dengan kewenangan MK,” tambah Palguna.