DPR Kebut Pengesahan Sejumlah RUU Menjadi Undang-Undang Di Penghujung Masa Jabatan
Di penghujung masa jabatan, DPR RI periode 2014-2019 mempercepat pembahasan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) agar dapat segera disahkan.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di penghujung masa jabatan, DPR RI periode 2014-2019 mempercepat pembahasan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) agar dapat segera disahkan.
Diketahui, masa jabatan DPR periode 2014-2019 akan selesai pada 30 September 2019.
Berdasarkan catatan Tribunnews, DPR telah mengesahkan setidaknya lima RUU menjadi undang-undang pada September 2019 ini.
Di antaranya UU Pekerja Sosial, Revisi UU Perkawinan, Revisi UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), UU tentang Sumber Daya Air, dan Revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
UU Pekerja Sosial
DPR dan Pemerintah sepakat untuk mengesahkan Rancangan Undang-undang tentang Pekerja Sosial menjadi undang-undang pada Rapat Paripurna DPR, Selasa (3/9/2019).
Dengan demikian, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Indonesia memiliki UU tentang Pekerja Sosial.
Menteri Sosial (Mensos) Agus Gumiwang Kartasasmita menyambut gembira disahkannya UU tentang Pekerja Sosial oleh DPR.
Baca: Hutan Indonesia Berpotensi Tinggi Terbakar Hingga Akhir September
Agus mengatakan, pengesahan UU tentang Pekerja Sosial merupakan bentuk tanggung jawab negara terhadap peningkatan kualitas penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan sosial.
"Payung hukum ini akan mengoptimalikan peran, fungsi, sekaligus menjadi mandat legal formal dan perlindungan terhadap para pekerja sosial dalam melaksanakan praktik pekerjaan sosial," kata Agus.
Revisi UU Perkawinan
Revisi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan DPR lewat Rapat Paripurna, Senin (16/9/2019).
Pengesahan RUU Perkawinan tersebut, mengubah batas minimal usia perkawinan menjadi 19 tahun.
Wakil Ketua Baleg DPR RI Totok Daryanto menyampaikan laporan atas kesepakatan DPR dan pemerintah terkait batas usia minimal perkawinan.
Totok mengatakan delapan fraksi di DPR dan pemerintah sepakat usia minimal untuk melakukan perkawinan adalah 19 tahun.
Baca: 60 Musisi Bakal Meriahkan Konser Musik Untuk Republik
"Menyetujui batas usia minimal bagi pria dan wanita untuk perkawinan adalah 19 tahun. Namun dengan catatan dua fraksi, yaitu PKS dan PPP bahwa usia minimal untuk perkawinan adalah 18 tahun," ucap Totok.
Sementara pihak pemerintah diwakili Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise juga menyampaikan laporan atas RUU Perkawinan tersebut.
Yohana mengucapkan terima kasih kepada DPR atas kerja sama dalam pembahasan revisi UU Nomor 1 Tahun 1974.
"Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung kami," katanya.
Revisi UU MD3
Pimpinan MPR akhirnya bertambah menjadi 10 orang setelah DPR mengesahkan revisi UU MD3, Senin (16/9/2019).
Wakil Ketua Baleg Totok Daryanto menjelaskan tiap fraksi di MPR berhak mengajukan satu nama bakal calon pimpinan MPR.
Artinya, pimpinan MPR periode 2019-2024 mendatang berjumlah 10 orang, terdiri dari seluruh fraksi yang ada di DPR ditambah satu dari unsur DPD.
Baca: Polda Kalimantan Tengah Gelar Salat Istisqa Minta Turun Hujan
"Dari tiap fraksi atau kelompok anggota hanya dapat mengajukan satu orang bakal calon pimpinan DPR. Dari calon pimpinan MPR, dipilih Ketua MPR secara musyawarah dan ditetapkan dalam sidang paripurna," katanya.
"Apabila musyawarah tidak tercapai, Ketua MPR dipilih melalui pemungutan suara di paripurna MPR dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan menjadi Ketua MPR dan yang tidak terpilih ditetapkan menjadi Wakil Ketua MPR," tambahnya.
UU tentang Sumber Daya Air
DPR mengesahkan Undang-undang tentang Sumber Daya Air pada Selasa (17/9/2019).
Diketahui, RUU Sumber Daya Air telah menjadi Program Legislasi Nasional DPR pada 2018.
Wakil Ketua Komisi V DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Lasarus menyampaikan laporan pembahasan RUU Sumber Daya Air antara DPR dan pemerintah.
Lasarus menerangkan, RUU Sumber Daya Air terdiri dari 16 bab dengan 79 pasal.
RUU tersebut, lanjut Lasarus, untuk menggantikan UU Sumber Daya Air Nomor 7 Tahun 2004 yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2015.
"MK menegaskan bahwa negara harus memenuhi hak rakyat atas air sebagai bagian dari HAM. Oleh sebab itu, kehadiran negara dalam pengelolaan sumber daya air harus diperuntukkan bagi kemakmuran rakyat," ungkap Lasarus.
Lebih lanjut, Lasarus menegaskan hak rakyat atas air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dijamin negara.
Undang-undang tersebut memberikan penegasan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh akses untuk pemanfaatan sumber daya air.
"RUU tentang Sumber Daya Air telah mendapat persetujuan dari semua fraksi yang ada di Komisi V. Fraksi-fraksi menyampaikan harapan dan penekanan untuk memaksimalkan impelementasi RUU ini antara lain keharusan pemerintah segera bentuk aturan pelaksana yang diamanatkan Undang-undang tentang Sumber Daya Air," jelasnya.
Revisi UU KPK
DPR RI pun mengesahkan Revisi Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pengesahan diambil melalui rapat paripurna DPR RI di Ruang Paripurna, Gedung Nusantara DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Pembahasan revisi berjalan sangat singkat.
Alasannya, DPR baru saja mengesahkan revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR pada 6 September 2019.
Dengan demikian, hanya butuh waktu sekitar 12 hari hingga akhirnya UU KPK hasil revisi disahkan.
Pemerintah dan DPR telah menyepakati seluruh poin atau daftar inventaris masalah (DIM) RUU KPK.
Baca: Alat Seduh Kopi Manual Rancangan Seniman Bantul Ini Memikat Pecinta Kopi, Ini Keunggulannya
Terdapat tujuh poin revisi antar Panitia kerja pemerintah dan Panitia kerja DPR RI yang disepakati pada rapat Senin malam.
Adapun ketujuh poin tersebut, pertama, kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap independen.
Kedua, terkait pembentukan Dewan Pengawas. Lalu ketiga, mengenai pelaksanaan fungsi penyadapan oleh KPK.
Keempat, mekanisme penerbitan SP3 oleh KPK.
Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan aparat penegak hukum yang ada dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Keenam, terkait mekanisme penyitaan dan penggeledahan. Ketujuh, sistem kepegawaian KPK.
Meskipun telah disahkan, Fraksi Partai Gerindra dan PKS menolak mekanisme pemilihan Dewan Pengawas KPK yang ditunjuk langsung oleh Presiden.