Sabtu, 4 Oktober 2025

KPK Berkali-kali Tolak RUU, Desmond : KPK Siapa Sih? Masa Pelaksana UU Menolak

Anggota Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa mengatakan ada beberapa point revisi UU KPK yang bakal dibahas

dok. DPR RI
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond Junaidi Mahesa. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com Theresia Felisiani

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kamis (5/9/2019) menggelar rapat paripurna membahas pandangan fraksi terkait Undang-Undang.

Dalam rapat yang digelar di Gedung Nusantara II DPR, K‎ompleks Parlemen, Senayan, Jakarta ini yang bakal dibahas ialah RUU KPK.

Baca: Fraksi Gerindra DPR Bakal Catat Keraguan Publik soal 10 Capim KPK

Anggota Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa mengatakan ada beberapa point revisi UU KPK yang bakal dibahas.

Pertama soal penyadapan, dimana penyadapan harus izin pengawas.

Kedua tentang pejabat negara sebelum dan sesudah ‎menjabat harus melaporkan harta kekayaanya. Ketiga soal pengawas KPK dan keempat bicara soal SP3 atau penghentian kasus.

"Bicara soal SP3, dalam negara hukum memang harus ada SP3 karena ini bicara tentang kepastian hukum. Jadi kalau ada kesan untuk melemahkan, ya ini kan negara hukum harus ada kecuali Indonesia ini Undang-Undangnya tidak bicara soal negara hukum. Bagi saya tidak ada sesuatu yang luar biasa," tutur Desmond di Komplek Gedung Parlemen, Jakarta.

Lanjut soal pengawas di KPK, Desmond berpendapat nanti bakal dikongkritkan dan dirumuskan di depan parlemen.

Pihaknya mewakili Fraksi Gerindra akan minta masukan siapa yang paling layak menjadi pengawas KPK.

Baca: Hari Ini, DPR RI Bahas Revisi UU KPK

Disinggung soal berkali-kali KPK serta Koalisi Masyarakat Sipil hingga para penggiat antikorupsi menolak RUU KPK, Desmond merasa hal itu sangat aneh.

"‎KPK itu siapa sih? KPK itu pelaksana UU bukan pembuat UU. Ini kan yang aneh, KPK menolak padahal mereka bukan pembuat UU. Masa pelaksana UU menolak? Pemerintah dan DPR lah yang punya kapasitas itu," tutur dia.

Kata KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan belum membutuhkan revisi terhadap UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, UU yang saat ini berlaku sudah cukup mendukung kerja KPK di bidang penindakan dan pencegahan korupsi.

"Bagi kami saat ini, KPK belum membutuhkan revisi terhadap UU 30 Tahun 2002 tentang KPK. Justru dengan UU ini KPK bisa bekerja menangani kasus-kasus korupsi, termasuk OTT (operasi tangkap tangan) serta upaya penyelamatan keu negara lainnya melalui tugas pencegahan," kata Febri kepada pewarta, Rabu (4/9/2019).

Baca: Viral Foto Napi Rutan Way Huwi Diikat di Pohon Palem, Ini Fakta-fakta Menarik di Balik Foto

Baca: Produk Perawatan Kulit Jadi Alat Investasi Untuk Rachel Goddard: Rela Ngeluarin Apa Saja

Baca: Moeldoko: Indonesia Tidak Pernah Minta Bantuan AS Selesaikan Masalah Papua

Pernyataan ini disampaikan Febri menanggapi Rapat Paripurna DPR pada Kamis (5/9/2019) besok.

Berdasarkan agenda yang diterima wartawan, Rapat Paripurna besok mengagendakan mendengarkan pendapat fraksi-fraksi terhadap RUU Usul Badan Legislasi DPR RI tentang RUU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Kemudian, dilanjutkan dengan pengambilan keputusan menjadi RUU usul DPR.

Agenda berikutnya, mendengar pandangan fraksi-fraksi terhadap RUU usul Badan Legislasi (Baleg) DPR tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dilanjutkan dengan pengambilan keputusan menjadi RUU usul DPR.

Febri menyatakan, KPK belum mengetahui mengenai wacana revisi UU KPK yang diusulkan DPR tersebut.

Lembaga antirasuah juga tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan rencana revisi UU KPK tersebut.

"Apalagi sebelumnya berbagai upaya revisi UU KPK cenderung melemahkan kerja pemberantasan korupsi," katanya.

Kalaupun Rapat Paripurna besok memutuskan untuk menjadikan revisi UU KPK sebagai RUU inisiatif DPR, hal tersebut belum berarti RUU tersebut menjadi UU.

Untuk disahkan sebagai UU, RUU tersebut harus dibahas dan disetujui Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Karena UU adalah produk DPR bersama Presiden," ujar Febri.

DPR kembali mewacanakan revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) setelah sekian lama mengendap.

DPR bahkan mengagendakan rapat paripurna pada Kamis (5/9/2019) untuk membahas usulan Badan Legislatif (Baleg) tersebut.

Sejak wacana revisi UU KPK menjadi polemik, Baleg memang tidak pernah mempublikasikan rapat pembahasan draf rancangan undang-undang.

Dikutip dari Kompas.com, Kamis (5/9/2019) anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Masinton Pasaribu mengatakan rencana revisi UU KPK memang sudah menjadi pembahasan sejak 2017.

Menurutnya, semua fraksi di DPR dan pemerintah sepakat akan rencana itu.

“Ya itu kan sudah lama ada di Baleg. Pemerintah dan DPR kan sudah 2017 lalu menyepakati untuk dilakukan revisi terbatas terhadap UU KPK itu,” ujar Masinton saat dihubungi, Rabu (4/9/2019).

Baca: Amnesty Internasional Nilai Penetapan Veronica Koman sebagai Tersangka adalah Bentuk Kriminalisasi

Lebih lanjut Masinton mengatakan bahwa poin revisi UU KPK saat ini tidak jauh berbeda dengan draf pada 2017 silam.

Adapun perubahan menyangkut pada beberapa hal, di antaranya terkait penyadapan, keberadaan dewan pengawas, kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3), serta status kepegawaian KPK.

Poin perubahan ini juga tidak jauh berbeda dengan rekomendasi Panitia Angket DPR RI tentang Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansus Hak Angket KPK) terkait hasil penyelidikan terkait pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK yang diumumkan pada 2018.

“Revisi terkait dengan penyadapan, dewan pengawas, kewenangan SP3 dan tentang pegawai KPK,” kata Masinton.

Adapun substansi revisi yang disepakati menyangkut enam poin perubahan kedudukan dan kewenangan KPK.

Poin pertama, kedudukan KPK disepakati berada pada cabang eksekutif atau pemerintahan yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya bersifat independen.

Pegawai KPK ke depan juga akan berstatus aparatur sipil negara yang tunduk pada Undang-Undang ASN.

Sementara itu, status KPK selama ini sebagai lembaga ad hoc independen yang bukan bagian dari pemerintah.

Kedua, kewenangan penyadapan oleh KPK baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas.

Ketiga, penegasan KPK sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu, sehingga diwajibkan bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya.

Keempat, tugas KPK di bidang pencegahan akan ditingkatkan, sehingga setiap instansi, kementerian dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara sebelum dan sesudah berakhir masa jabatan.

Kelima, pembentukan dewan pengawas KPK berjumlah lima orang yang bertugas mengawasi KPK.

Keenam, kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun atau SP3.

Penghentian itu harus dilaporkan kepada dewan pengawas dan diumumkan ke publik.

Baca: Deretan Pejabat BUMN Korup yang Ditangkap KPK Sepanjang 2019

Dinilai berpotensi lemahkan KPK

Aktivis Antikorupsi
Seorang aktivis membawa spanduk yang bertuliskan tolak revisi UU KPK pada aksi damai bentuk penolakan revisi UU KPK di bundaran Untan, tugu Digulis, Pontianak, Senin (22/2/2016) sore. Demonstrasi ini digelar oleh puluhan massa dari berbagai profesi yang mengatasnamakan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi Kalimantan Barat. aksi yang dinamai mimbar bebas ini juga menampilkan permainan musik, teatrikal, penandatangan petisi dan pembacaan puisi. (TRIBUN PONTIANAK/ANESH VIDUKA)

Ketika keenam poin revisi tersebut pertama kali muncul ke publik pada 2017 silam, para aktivis antikorupsi langsung memberikan kritik tajam.

Mereka khawatir nantinya rencana tersebut justru akan melemahkan kewenangan KPK.

Pasalnya, beberapa ketentuan revisi dianggap akan berimplikasi pada kewenangan KPK.

Seorang pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia, Jentera Miko Ginting menilai revisi UU KPK sebenarnya belum diperlukan.

Menurutnya, konsep pembentukan dewan pengasa tidak jelas dan dapat bertentangan dengan UU KPK.

Begitupun dengan kewenangan dewan pengawas dalam menyusun kode etik untuk pimpinan KPK.

Sistem kontrol di internal KPK, menurut Miko, telah tercipta melalui pengambilan keputusan yang tidak didasari pada satu orang.

Selain itu, soal penyadapan melalui izin pengawas juga dinilai rancu.

Menurut Miko, hal tersebut mencampuradukkan kewenangan pengawasan lembaga dengan pengawasan terhadap kewenangan pro justitia.

Sementara itu, dalam UU KPK saat ini, penyadapan dilakukan atas izin pimpinan KPK.

Miko juga mengkritik soal kewenangan SP3.

Ia memandang KPK tidak perlu memiliki kewenangan menerbitkan SP3.

Selama ini, adanya tersangka atau terdakwa yang sakit keras dan meninggal memang menjadi alasan agar KPK memiliki ketentuan SP3.

“Saya kira tidak ada urgensinya mengingat conviction rate KPK masih cukup baik sejauh ini. Apabila ada tersangka atau terdakwa yang sakit keras atau meninggal, KPK bisa mengajukan tuntutan bebas ke pengadilan,” ucap Miko.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved