Rusuh di Papua
Pro Kontra Pembatasan Internet di Papua: Ombudsman Minta Evaluasi, Pemerintah Menilai demi Kebaikan
Pro Kontra Pembatasan Internet di Papua: Ombudsman Minta Peninjauan Ulang, Pemerintah dan Polri Sebut demi Kebaikan
Damar menjelaskan, ada dua jenis situasi darurat, yaitu darurat sipil dan darurat militer.
Sehingga, penyampaian situasi darurat tidak bisa disampaikan oleh level kementerian, harus Presiden.
"Dan harus dinyatakan dengan dasar yang jelas, disampaikan lewat surat selevel keputusan presiden atau keppres ya," ujar dia.
Kedua, Damar menyoroti pernyataan Rudiantara soal Pasal 40 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Rudiantara menyatakan, di pasal tersebut pemerintah wajib melindungi masyarakat, karena itu pemerintah diberi kewenangan.
Damar menyatakan, penggunaan Pasal 40 tersebut sepatutnya merujuk pada Pasal 12 UUD 1945 tadi.
Ia menilai Pasal 40 itu tidak bisa digunakan Kemenkominfo secara berlebihan.
"Tambahan lain, meskipun dalan Pasal 40 ini, pasal yang baru direvisi tahun 2016 meski memiliki kewenangan penuh, UU ITE itu belum ada turunan mekanisme pelaksanaannnya jadi baru hanya bunyi pasalnya saja," ujar Damar.
"Kenapa harus dituliskan kewenangan tersebut? Karena memang harus dijelaskan cara mekanismenya seperti apa," kata dia.
Menurut Damar, tidak pernah ada turunan yang menjelaskan bahwa ada diperbolehkannya pembatasan seperti yang dilakukan Kementerian Kominfo.
"Dalam bentuk pelambatan informasi atau internet throttling dan pembatasan akses informasi dalam bentuk blokir seperti yang terjadi di Papua dan Papua Barat," ucap Damar.
Jika tidak ada aturan turunan yang rinci, dasar hukum pembatasan internet dianggap lemah.
Oleh karena itu, Damar memandang pembatasan akses internet di Papua dan Papua Barat sebagai sebuah kekeliruan.
"Kita menganggap ini sebuah kekeliruan dalam pengambilan keputusan," ujarnya.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie/Kompas.com, Ihsanuddin, Rakhmat Nur Hakim, Devina Halim, Ardito Ramadhan, Dylan Aprialdo Rachman)