Jumat, 3 Oktober 2025

KPK Bakal Dalami Peran Anggota DPRD Bekasi PDIP Soleman Dalam Pusaran Suap Meikarta

Jika Soleman menerima duit Rp3 miliar itu, Febri pun mengimbau Soleman agar bertindak kooperatif,

Penulis: Ilham F Maulana
Editor: Eko Sutriyanto
Ilham Rian Pratama
Juru Bicara KPK Febri Diansyah 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal mendalami peran Anggota DPRD Kabupaten Bekasi dari PDIP Soleman dalam pusaran kasus suap perizinan proyek Meikarta.

Dari fakta persidangan suap Meikarta di Pengadilan Negeri Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (5/2), Soleman diketahui meminta uang sebesar Rp3 miliar kepada bekas Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi Nurlaili.

"Dari fakta-fakta yang ada kami duga masih ada pihak lain yang menerima aliran dana. Ataupun masih ada pihak lain yang diduga berperan dalam konstruksi perkara ini," ucap Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (30/7/2019).

"Artinya apa? Kami akan telusuri terus-menerus pihak-pihak lain yang diduga terlibat dalam perkara ini. Apakah dalam kapasitas sebagai pihak yang bersama-sama memberikan suap ataupun pihak yang diduga menerima aliran dana dengan proses perizinan ini," tegasnya.

Febri menyatakan bakal memanggil Soleman dalam waktu dekat. 

"Nanti saksi-saksi yang lain tentu akan kami periksa juga. Sesuai dengan kebutuhan dan juga jadwal yang sudah disusun oleh para penyidik," ujarnya.

Baca: KPK: Penetapan Tersangka Baru Tidak Hambat Proses Investasi Meikarta

Jika Soleman menerima duit Rp3 miliar itu, Febri pun mengimbau Soleman agar bertindak kooperatif, yaitu dengan cara mengembalikan uang tersebut kepada KPK.

"Kalau memang ada pernah menerima aliran dana terkait proyek Meikarta ini agar secara kooperatif untuk mengembalikannya ke KPK," tandas Febri.

Sebagaimana diketahui, dua kader PDIP Jabar, yakni Soleman dan Anggota DPRD Jabar Waras Wasisto, pernah dihadirkan dalam persidangan suap Meikarta di Pengadilan Negeri Bandung, Kota Bandung, pada Rabu (5/2). Ketika itu, keduanya difasilitasi untuk melakukan konfrontir terkait perannya dalam penyuapan proyek Meikarta.

Konfrontir tidak hanya melibatkan Soleman dan Waras, melainkan juga Iwa Karniwa, Sekretaris Daerah (Sekda) Pemerintah Provinsi Jabar yang namanya beberapa kali disebut dalam perjalanan sidang kasus suap Meikarta. Iwa sendiri merupakan sosok yang sempat maju sebagai Bakal Calon Gubernur Jabar perwakilan PDIP pada awal tahun 2018.

Kasus yang melibatkan dua kader PDIP dan Iwa Karniwa itu diawali dengan keinginan Meikarta untuk memasukkan proyeknya ke dalam RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) Provinsi Jabar.

Baca: Jadi Tersangka KPK, Harta Sekda Jabar Melonjak Rp1 Miliar Hanya dalam Setahun

Karena otoritas RDTR ada di meja Pemerintah Provinsi Jabar, maka Pemerintah Kabupaten Bekasi yang sudah menerima uang suap dari Meikarta, perlu mengalirkan duit suap ke Pemprov Jabar. Di sanalah, Soleman diduga berkoordinasi dengan Waras agar dapat menyampaikan uang suap ke meja kerja Iwa guna kemulusan proses RDTR.

Peristiwa yang diperkarakan bersumber dari perkataan Neneng Rahmi di Pengadilan Negeri Bandung, Rabu (5/2), yang menyebut Iwa pernah meminta suap Rp1 miliar pada pertengahan 2017.

Aliran duit suap Meikarta tersebut diserahkan Neneng dan Henry Lincoln (Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Kabupaten Bekasi) pada Soleman. Kemudian, Soleman kembali menyerahkan uang kepada Waras yang dianggap sebagai orang terdekat Iwa.

Di depan hakim ketika berkonfrontir. Waras mengaku telah menitipkan uang tersebut pada stafnya untuk kemudian diantar menuju Iwa Karniwa. Namun, dalam persidangan, Iwa menolak telah menerima uang tersebut.

Ada tiga tahap uang suap Meikarta yang diduga mengalir untuk Pemprov Jabar selama 2017. Tahap pertama, kata Soleman, yakni terjadi di rest area KM 72. “Uang diserahkan dari supir saya ke supirnya pak Waras,” tutur Soleman, kepada hakim, Rabu (5/2).

Baca: Tak Hanya Kasus Ikan Asin, Suami Rey Utami Ditetapkan Jadi Tersangka Kasus Penipuan

Menurut Waras, uang tahap pertama yang ia terima adalah Rp500 juta. Uang itu langsung diserahkan pada Iwa.

Tahap kedua terjadi di Bangi Kopi daerah Kabupaten Bekasi. Di sana, Soleman menerima titipan paper bag kecil yang berisikan uang. “Saya tidak diberi tahu oleh Henry dan Neneng berapa jumlah uang itu,” ujarnya.

Soleman lalu menyerahkan uang tersebut pada Waras. Menurut Waras, ada sekitar Rp400 juta di dalam paper bag. Uang itu pun lantas dikirimkan lagi pada Iwa.

Transaksi tahap ketiga terjadi di depan Rumah Sakit Hermina Bekasi. Namun, dalam transaksi ini, Waras mengaku tak menerima uang sedikit pun. Maka, ketika itu, KPK lantas menyimpulkan uang suap yang masuk ke kantong Iwa sebesar Rp900 juta dari Rp1 miliar.

Sebelumnya, setelah penyuapan tahap kedua dilakukan, Soleman sempat menelepon Neneng dan meminta tambahan uang sebesar Rp3 miliar. Namun, permintaan tersebut ditolak Neneng dengan alasan tak ada lagi anggaran.

Dalam persidangan, tidak terungkap apa maksud dari tambahan Rp3 miliar itu. Yang terang, uang tersebut memang tak urung cair karena KPK tidak mendapatkan buktinya.

Diberitakan, KPK menetapkan bekas Presiden Direktur PT Lippo Cikarang Bartholomeus Toto dan Sekda Pemprov Jabar periode 2015-sekarang Iwa Karniwa sebagai tersangka.

Baca: Sekda Jabar Iwa Karniwa Ditetapkan Jadi Tersangka Kasus Suap Proyek Meikarta oleh KPK

Bartholomeus diduga menyuap Iwa untuk memuluskan aturan mengenai RDTR. Total suap yang diterima oleh Iwa mencapai Rp1 miliar. 

Adanya kebutuhan suap disampaikan oleh bekas Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Neneng Rahmi Nurlaili pada April 2017 lalu. 

Didapatkan informasi agar RDTR diproses, maka Neneng Rahmi Nurlaili harus bertemu dengan tersangka Iwa Karniwa. Neneng Rahmi kemudian mendapatkan informasi bahwa tersangka Iwa meminta uang Rp1 miliar untuk penyelesaian proses RDTR di provinsi.

Sementara, Bartholomeus tidak hanya menyuap Neneng Rahmi, namun ia juga memberi duit kepada eks Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin. Total suap yang diberikan untuk Bupati Neneng mencapai Rp10,5 miliar. 

Bartholomeus Toto diduga menyetujui setidaknya 5 kali pemberian tersebut kepada Bupati Neneng, baik dalam bentuk dolar Amerika dan rupiah dengan total Rp10,5 miliar.

Atas perbuatannya, Bartholomeus sebagai pemberi suap disangkakan dengan pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU nomor 31 tahun 1999 mengenai tindak pemberantasan korupsi.

Apabila merujuk ke pasal tersebut, maka Bartholomeus diancam dengan pidana penjara 1-5 tahun. Selain itu, ada pula denda Rp50 juta-Rp250 juta. 

Sedangkan, ancaman hukuman lebih berat dikenakan bagi Iwa. Sebab, ia adalah penyelenggara negara yang dilarang menerima hadiah atau gratifikasi. 

Sementara Iwa Kurniwa diduga melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU nomor 31 tahun 1999 mengenai tindak pemberantasan korupsi.

Apabila merujuk ke aturan itu, maka Iwa diancam hukuman penjara 4-20 tahun. Sementara, ada pula denda berkisar Rp200 juta hingga Rp1 miliar. 

Di dalam pusaran kasus rasuah Meikarta, KPK sudah memproses 9 tersangka lainnya. Dua di antaranya adalah eks Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin dan mantan Direktur Lippo Group Billy Sindoro. 

Eks Bupati Neneng dijatuhi vonis 6 tahun penjara. Sedangkan Billy divonis 3,5 tahun penjara. Kasus ini terungkap dari kegiatan tangkap tangan pada 14 dan 15 Oktober 2018. 

Dari tangkap tangan itu, KPK mengamankan uang SGD90 ribu, Rp513 juta, 2 unit mobil. Selain Neneng dan Billy, tujuh tersangka lainnya juga sudah diproses di Pengadilan Tipikor pada PN Bandung, Jawa Barat

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved