Kasus BLBI
Otto Hasibuan Pastikan Keberadaan Sjamsul Nursalim di Singapura: Kesehatannya Kurang Bagus
Otto Hasibuan mengungkap tersangka kasus dugaan korupsi BLBI Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih sedang berada di Singapura.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Advokat Otto Hasibuan mengungkap tersangka kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih sedang berada di Singapura.
Ia menjelaskan Sjamsul tidak melarikan diri dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, keberadaannya di Singapura lebih dikarenakan kondisi kesehatan yang kurang baik.
"Kita tahu selama ini ada di Singapura. KPK juga tahu alamatnya jelas. Kalau kurang jelas kita bisa beri tahu. Dia tidak ke mana-mana. Cuma memang karena sudah tua, kesehatannya juga kurang bagus jadi tetap di sana," ujar Otto Hasibuan di Hotel Grand Sahid, Jakarta Pusat, Rabu (19/6/2019).
Baca: Cerita Bocah yang Nonton Adegan Ranjang Pasutri dari Balik Jendela: Saya Bayar Seribu
Baca: Bambang Widjojanto Nilai Tepat Hakim Pertanyakan Masalah Intervensi Kepada Saksi
Baca: Kementerian PPA Beri Pendampingan Pada Anak Korban Perilaku Seks Menyimpang Pasutri di Tasikmalaya
Otto bersama sejumlah kuasa hukum lain seperti Maqdir Ismail, David Suprapto, Tuty, dan Steven Anthony hadir selaku kuasa hukum Sjamsul atas kasus perdata di Pengadilan Negeri Tangerang.
Ia menjelaskan pihaknya mengajukan gugatan perdata terhadap hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk kerugian keuangan negara dalam BLBI.
Adapun gugatan tersebut diregister dengan nomor perkara 144/Pdt.G/2019/PN Tng.
Terkait perkara pidana di KPK sendiri, Otto mengaku belum ditunjuk Sjamsul Nursalim untuk menjadi kuasa hukum dalam perkara tersebut.
Alasannya Sjamsul beserta istrinya Itjih mengaku kepada Otto masih meyakini pemerintah akan memenuhi janji untuk tidak menuntut perihal kasus BLBI.
"Namun untuk perkara pidana di KPK kami belum mendapatkan kuasa jadi belum bisa mewakili untuk kasus ini. Tapi karena kasus ini kami belum diberi kuasa, saya tidak punya kewenangan untuk memberi jawaban (lebih lanjut)," ucapnya.
Di sisi lain, terkait keberadaan kliennya di Singapura, Maqdir Ismail mengatakan Sjamsul merupakan warga negara yang bebas untuk tinggal di manapun.
Karenanya, ia meminta semua pihak tidak mempersoalkan keberadaan kliennya.
Apalagi Sjamsul sudah berada di Singapura sejak tahun 2001 silam.
"Tidak perlu dipersoalkan dimana beliau mau tinggal karena namanya ada dan beliau tinggal di luar negeri itu. Seingat saya sejak 2001, bahkan sejak 2001 itu tidak pernah ke Jakarta itu soal pilihan orang di mana dia mau tinggal," kata Maqdir.
Soroti hasil audit BPK
Kuasa hukum Sjamsul Nursalim, Otto Hasibuan, menyebut audit yang dilakukan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) tahun 2017 tidak objektif dan independen.
Akibatnya, Sjamsul Nursalim beserta istrinya ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurutnya, audit itu bertentangan dengan hasil audit investigasi BPK yang dilakukan pada 2002 dan 2006.
Baca: Dul Jaelani Tak Diberi Uang Jajan Ayah Tirinya, Anak Maia Estianty Ini Hormati Prinsip Irwan Mussry
Baca: 7 Kesalahan Tak Disengaja dalam Drama Korea yang Bikin Penonton Tertawa
Baca: Perlahan-lahan Terkuak, Inilah Motif Pasutri Habisi Nyawa Santi Malau Karyawati Bank Syariah Mandiri
"Audit dilakukan khusus atas permintaan KPK yang kemudian dikait-kaitkan dengan penerbitan SKL (Surat Keterangan Lunas). BPK juga dalam melakukan audit itu tidak objektif, profesional, dan independen. Sehingga, itu bertentangan dengan Undang-Undang audit keuangan negara," ujar Otto Hasibuan, di Hotel Grand Sahid, Jakarta Pusat, Rabu (19/6/2019).
Ia menilai ketidakobjektifan BPK juga didasarkan pada audit tahun 2017 yang dilakukan hanya berdasarkan satu sumber informasi yakni berasal dari KPK.
Padahal seharusnya BPK juga melakukan audit dengan mengkonfirmasi dari pihaknya serta pihak-pihak terkait dengan BLBI.
"KPK juga tidak melakukan pemeriksaan atau melakukan konfirmasi dengan auditnya dan pihak-pihak yang terkait dengan perjanjian MSAA," ucapnya.
Baca: Setelah Dilaporkan Andika Mahesa, Selebgram Berliana Lovell Beri Klarifikasi Lewat Instagram
Baca: Ini Bukti Cristiano Ronaldo Tak Pernah Mau Kalah dari Siapapun
Selain itu, Otto Hasibuan menyoroti penerbitan Surat Keterangan Lunas yang tidak menimbulkan efek apapun bagi kliennya dalam kasus ini.
Padahal, kewajiban Sjamsul Nursalim disebutnya telah tuntas di tahun 1999 silam.
Sehingga, kata dia, penetapan tersangka kepada Sjamsul Nursalim dan istri kliennya serta menyatakan adanya kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun tidak benar.
"Sedangkan penerbitan SKL hanya merupakan surat keterangan belaka bahwa seluruh kewajiban Sjamsul berdasarkan MSAA telah diselesaikan pada 25 Mei 1999," katanya.
Kirim SPDP
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan pihaknya telah mengirimkan pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) pengusaha Sjamsul Nusalim dan istrinya, Itjih Nursalim ke Singapura.
SPDP dikirimkan KPK ke Singapura pada 17 Mei 2019. Tiga lokasi yaitu The Oxley, Clum Road, Head Office of Giti Tire Pte.Ltd. SPDP untuk Sjamsul Nursalim dan istrinya ke rumah di Simprug, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
"Kita sudah mengimbau berapa kali agar pulang," kata Saut di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu (12/6/2019).
Saut ingin berkas perkara dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istri, Itjih Nursalim segera rampung. KPK ingin proses persidangan digelar segera.

"Tetapi yang jelas kita harus masuk secepatnya prosesnya di pengadilan, ya itu dulu," ujar Saut.
Saut juga menjawab pertanyaan pewarta terkait rencana meminta agar Sjamsul Nursalim ditetapkan dalam daftar pencarian orang (DPO).
Baca: Polisi Ringkus Pencuri Senjata Brimob Saat Rusuh 22 Mei
"Banyak cara, banyak cara yang bisa dipakai. Itu banyak cara yang bisa kita pakai, itu banyak cara yang bisa kita pakai kita bilang," katanya.
Sebagaimana diketahui, KPK telah menetapkan pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka dalam kasus korupsi terkait Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang telah menjerat mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung.
Kasus ini bermula saat BDNI mendapat bantuan dana BLBI sebesar Rp 37 triliun. BDNI juga menerima BLBI sebesar Rp 5,4 triliun dalam periode 1999-2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet. Namun BPPN menduga BDNI menyalahgunakan dana bantuan itu dan menetapkan BDNI sebagai bank yang melanggar hukum.
Sementara Syafruddin Arsyad Temenggung yang menjadi Kepala BPPN sejak 22 April 2002 malah menandatangani surat yang menjelaskan bahwa Sjamsul sudah menuntaskan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Syafruddin dinilai terbukti menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang dijamin Sjamsul Nursalim dalam PKPS.
Namun setelah dilakukan penghitungan, didapatkan hak tagih utang dari para petambak plasma tersebut hanya sebesar Rp 220 miliar. Meski demikian, sisa utang BDNI sebesar Rp 4,58 triliun belum dibayarkan.
Perbuatan Syafruddin dinilai membuat Sjamsul mendapat keuntungan sebesar Rp 4,58 triliun. Hal tersebut pula yang kemudian dihitung sebagai besaran kerugian negara.
Syafruddin sudah menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia dinyatakan bersalah dan dihukum 13 tahun penjara.
Hukumannya diperberat di tahap banding menjadi 15 tahun penjara dan sedang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Temukan aset
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut telah menemukan aset yang terafiliasi dengan tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim. Aset itu diduga terkait kasus korupsi BLBI.
"Kami sudah mulai menemukan beberapa aset yang diduga milik dari tersangka, atau pun yang diduga terkait atau terafiliasi dengan tersangka atau perkara ini," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu (12/6/2019).
Saat ditanya aset Sjamsul mana saja yang diduga terkait dengan perkara ini Febri belum mau menjawabnya. Ia mengatakan posisi aset itu merupakan bagian dari informasi teknis penyidikan.
"Tapi secara lebih rinci tentu kami belum bisa menyampaikan karena proses penyidikan tersebut masih berjalan," jelas Febri.
Baca: Jenazah Marco Tiba di Rumah Duka, Rencananya akan Dimakamkan Hari Jumat Besok
Sjamsul sendiri masih memiliki aset dan bisnis yang berjalan di Indonesia. Salah satunya, PT Gajah Tunggal. Perusahaan ini memproduksi dan memasarkan ban dengan merek Zeneos dan GT Radial.

Perusahaan ini juga memiliki sejumlah anak usaha di antaranya PT Softex Indonesia (pembalut wanita), PT Filamendo Sakti (produsen benang), dan PT Dipasena Citra Darmadja (tambak udang, sewa gudang).
Sjamsul pun memiliki saham di Polychem Indonesia dan sejumlah usaha ritel yang menaungi beberapa merek ternama seperti Sogo, Zara, Sport Station, Starbucks, hingga Burger King.
Sebagaimana diketahui, KPK telah menetapkan pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka dalam kasus korupsi terkait Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang telah menjerat mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung.
Kasus ini bermula saat BDNI mendapat bantuan dana BLBI sebesar Rp 37 triliun. BDNI juga menerima BLBI sebesar Rp 5,4 triliun dalam periode 1999-2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet. Namun BPPN menduga BDNI menyalahgunakan dana bantuan itu dan menetapkan BDNI sebagai bank yang melanggar hukum.
Sementara Syafruddin Arsyad Temenggung yang menjadi Kepala BPPN sejak 22 April 2002 malah menandatangani surat yang menjelaskan bahwa Sjamsul sudah menuntaskan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Syafruddin dinilai terbukti menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang dijamin Sjamsul Nursalim dalam PKPS.
Namun setelah dilakukan penghitungan, didapatkan hak tagih utang dari para petambak plasma tersebut hanya sebesar Rp 220 miliar. Meski demikian, sisa utang BDNI sebesar Rp 4,58 triliun belum dibayarkan.
Perbuatan Syafruddin dinilai membuat Sjamsul mendapat keuntungan sebesar Rp 4,58 triliun. Hal tersebut pula yang kemudian dihitung sebagai besaran kerugian negara.
Syafruddin sudah menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia dinyatakan bersalah dan dihukum 13 tahun penjara.
Hukumannya diperberat di tahap banding menjadi 15 tahun penjara dan sedang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Baca: Fakta-fakta Pembunuhan Sadis di Jalanan Balikpapan, Pelaku dan Korban Sama-sama Tuna Rungu
Baca: Beredar Video Diduga Menteri Malaysia Tidur Dengan Pria Gay