Ahli Hukum Pidana Sebut Sadapan KPK Bisa Batal Secara Hukum
Tidak memiliki dasar hukum. Belum lagi dengan keaslian rekaman yang diduga suara percakapan Lucas juga sulit dibuktikan.
Pada sidang lanjutan yang berlangsung pada Kamis, 14 Februari lalu, Di hadapan majelis hakim, Ahli Hukum Pidana, Said menjelaskan, menghadirkan hasil rekaman sebagai alat bukti tak boleh cacat prosedural.
"Maka proses penyadapan itu, sejak awal memang dilakukan dengan tujuan kepentingan penegakan hukum," ujarnya.
Said juga menegaskan, alat bukti yang diajukan dalam perkara pidana, harus diperoleh dengan cara sah menurut hukum.
"Karena pengetahuan hukum yang saya pahami putusan MK Nomor 20/14/2016 di situ dikatakan untuk mengajukan alat bukti rekaman, maka yang melakukan perekaman itu adalah penegakan hukum. Disamping sejak awal rekaman itu hadir untuk kepentingan penegakan hukum," jelasnya.
Selain itu peran ahli forensik digital juga mesti menjadi pertimbangan dalam menilai keabsahan barang bukti digital atau rekaman. Menurut Said, dari segi hukum acara pidana barang bukti digital tidak dapat dijadikan alat bukti sah, jika ahli forensik digital menilainya tak bisa dipertanggung jawabkan.
"Maka jika terjadi keragu-raguan mengenai fakta persidangan tentang terbukti tidaknya terdakwa dalam melakukan tindak pidana, maka lebih bijaknya terdakwa dibebaskan," ungkap Said.
Sementara itu, penasehat hukum terdakwa, Irwan Muin mengatakan, penuturan saksi ahli hukum pidana, kian mempertegas kekeliruan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam menjerat Lucas.
"Karena dijelaskan setiap alat bukti yang diajukan JPU harus diuji keabsahannya di persidangan. Sementara alat bukti rekaman yang diajukan oleh saksi ahli IT yang dihadirkan sebelumnya sangat meragukan hal tersebut," tandasnya.
Saksi ahli digital dan audio forensik, Ruby Alamsyah juga telah meruntuhkan semua keterangan ahli akustik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan barang bukti yang diajukan KPK di persidangan.
Di hadapan majelis hakim, Ruby menjelaskan, di dunia internasional analisis suara yang disimpan dalam format digital lebih akurat dianalisis melalui forensik digital yang menaungi forensik audio dengan software-software digital yang telah teruji.
Hal sebaliknya, justru dilakukan KPK. Jasa ahli akustik yang digunakan membuat kedudukan alat bukti rekaman itu melemah. Lantaran ilmu akustik tidak dikenal dalam ilmu forensik suara (audio). "Selama ini dalam proses penegakan hukum baik di Polri atau di Kejaksaan lebih baik menggunakan forensik audio atau forensik digital," katanya.
Keaslian Percakapan Meragukan
Sebelumnya itu, pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga telah mendengarkan rekaman suara yang diduga percakapan Eddy dan Lucas. Hanya saja alat bukti rekaman dibantah keduanya.
"Rekaman yang diputar tadi bukan suara saya. Saya tidak pernah berkomuniksi dengan Lucas selama di luar negeri," bantah Eddy.
Lucas pun juga dengan tegas membenarkan kesaksian Eddy. Rekaman percakapan yang oleh JPU terjadi pada pertengahan tahun lalu, kata Lucas, sarat manipulasi. "Saya dan Eddy tak pernah terlibat percakapan itu. Keaslian percakapan yang dijadikan sebagai alat bukti sangat meragukan," katanya.
KPK sendiri telah menetapkan Lucas sebagai terdakwa. Lucas dinilai membantu Eddy kembali luar negeri. Padahal posisi Eddy telah menjadi tersangka dugaan suap panitera PN Jakarta Pusat, Edy Nasution terkait pengurusan sejumlah perkara beberapa perusahaan di bawah Lippo Group.
Hingga kasus ini bergulir di pengadilan pernyataan saksi justru membuat posisi Lucas menjadi bias. Tak ada bukti kuat yang mempertegas Lucas terlibat dalam kasus tersebut.