Kisah Anggota LPAD di Lombok Dihadang Warga Pakai Parang Saat Cegah Perkawinan Usia Anak
Apalagi di kawasan Lombok menurutnya upaya mencegah pernikahan usia anak sering berbenturan dengan adat istiadat setempat.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Revisi batas usia perkawinan dalam Pasal 7 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang disetujui Mahkamah Konstitusi (MK) memberi angin segar bagi kementerian, lembaga, organisasi hingga aktivis yang memperjuangkan hak anak dan perempuan.
Termasuk bagi TGH Lalu Abbusulhi Khairi, anggota Lembaga Perlindungan Anak Desa (LPAD) di Desa Kuta, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Saat ditemui di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat, Jumat (14/12/2018) dirinya menceritakan bahwa perjuangan mencegah perkawinan di usia anak adalah hal yang tak mudah.
Apalagi di kawasan Lombok menurutnya upaya mencegah pernikahan usia anak sering berbenturan dengan adat istiadat setempat.
“Dalam adat mengikat semua pihak, sepanjang hidup di bawah adat istiadat mereka harus jalankan tak terkecuali anak-anak, apalagi yang melibatkan anak-anak sekolah dasar, mereka tak bisa berontak, miris,” ucap pria yang mengenakan batik coklat dan kopiah putih saat ditemui Tribunnews.com.
Ia menceritakan sejumlah kasus yang bisa memaksa terjadinya pernikahan di usia anak.
“Saya contohkan misal ketika seorang anak laki-laki mau memberi kejutan ulang tahun kepada teman perempuannya, mereka tidak pacaran, kemudian sang perempuan dijemput untuk diberi kejutan di rumah teman laki-lakinya itu,” jelasnya.
“Tapi kemudian sang anak terlambat untuk diantar pulang hingga menjelang maghrib, begitu pulang dia dicegat oleh orang tuanya di gerbang rumah dan ditolak oleh mereka dan harus menikah,” kisahnya.
TGH Lalu Abbusulhi Khairi mengatakan bahwa kedua anak tersebut mengadu kepada dirinya dan LPAD.
“Mereka mengadu ke kami karena sesuai pertemuan dengan tokoh adat setempat mereka harus menikah walaupun bukan pacaran, yang disesalkanadalah keterangan anak tak jadi pertimbangan, pihak perempuan sudah baku mati tak mau anaknya dikembalikan dan harus dinikahi,” ceritanya.
Ia pun menceritakan pengalamannya pernah dicegah warga menggunakan parang saat akan berusaha memberi pengertian kepada masyarakat mengenai kerugian pernikahan usia anak.
“Orang tua kadang legawa anaknya dikembalikan tapi kadang ada satu pihak yang bersikukuh tidak mau anaknya dikembalikan dan harus dinikahkan, kalau mau kita paksa pasti terjadi kontak fisik, tapi kami ajak pihak kepolisian agar tidak sampai itu terjadi dan kalau akhirnya tetap terjadi pernikahan anak ya kita tak bisa berbuat apa-apa,” ungkapnya.
TGH Abbusulhi Khairi mengatakan kehadiran LPAD memberi dampak positif bagi pencegahan pernikahan usia anak-anak.
“Kalau di Desa Kuta masih bisa dikomunikasikan antara anak dan orang tua bagaimana pandangan anak sendiri terhadap adat yang memaksa mereka menikah di usia sangat muda dan tanpa keinginan mereka,” katanya.
“Kami sendiri setuju akan adat seperti itu, tapi anak harus diberi ruang untuk menyampaikan pendapatnya,” pungkasnya.
Dalam putusan itu MK menyatakan batas usia perkawinan yang diatur dalam Pasal 7 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus disesuaikan dengan UU Perlindungan Anak.
Pada UU Perkawinan batas usia pernikahan adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
Melalui putusan MK batas usia perkawinan dibatasi umur 18 tahun sesuai definisi anak dalam UU Perlindungan Anak.
MK pun memberi waktu tiga tahun kepada pembuat undang-undang yaitu pemerintah dan DPR RI untuk merevisi pasal tersebut.