Senin, 6 Oktober 2025

Sumbangan Budaya Tionghoa Peranakan Bagi Keragaman Indonesia

Ganjar Pranowo mengajak untuk merenungkan kembali keragaman budaya yang membentuk ke-Indonesia-an kita

Editor: Yudie Thirzano
Bhisma Adinaya
Suasana pameran benda-benda koleksi peranakan Tionghoa. 

Globalisasi pun turut memengaruhi budaya peranakan Tionghoa. Di penjuru Nusantara, ke-Tionghoa-an keluarga-keluarga peranakan terus berinteraksi dan diperkaya oleh pengaruh budaya setempat.

Buku yang menyajikan kekuatan visual setebal lebih dari 400 halaman ini merupakan kolaborasi Komunitas Lintas Budaya Indonesia dan majalah Intisari.

Sejumlah 14 penulis turut terlibat dalam penyusunan buku ini: Ariel Heryanto, Boedi Mranata, David Kwa, Esther Harijanti, Gondomono, Handi Noto, Kwan Hwi Liong, Lily Wibisono, Maria Helena Ishwara, Mary Patricia Northmore, Myra Sidharta, Mona Lohanda, Musa Jonathan, dan Rudi Tjahjadi.

Pengerjaan untuk edisi ketiga ini memakan waktu sekitar empat tahun, dan peluncurannya sekaligus menandai kado ulang tahun majalah Intisari yang ke-55.

Intisari merupakan majalah pertama Kompas Gramedia, yang terbit pertama 17 Agustus 1963. Pendirinya, Petrus Kanisius Ojong dan Jakob Oetama.

Keduanya memiliki visi yang sama untuk memberikan informasi yang membuka wawasan pembaca dan menginspirasi Indonesia.

Buku bertema budaya ini memiliki keterkaitan dengan tema ulang tahun Intisari tahun ini—Merayakan Talenta Indonesia. Para pembaca, khususnya generasi muda, diajak untuk menemukan sari kearifan budaya untuk bekal dan bersiap melangkah ke masa depan Indonesia.

Peluncuran buku ini digelar di Semarang Contemporary Art Gallery yang terletak di jantung Kota Lama Semarang pada 13 Juli 2018.

Pada kesempatan yang sama Gubernur Jawa Tengah juga membuka pameran benda-benda koleksi Peranakan Tionghoa Indonesia bertajuk Warisan Peranakan.

Banyak koleksi peranti masa silam yang dipamerkan masih berperan dalam keseharian keluarga peranakan Tionghoa. Dari ukiran pada furnitur sampai pilihan buah dan menu makanan dalam ritual.

Para pembicara diskusi panel. Dari kiri ke kanan: Rafael Soenarto, Boedi Mranata, Yudi Latief, Didi Kwartanada, Azmi Abubakar, dan moderator Irwan Julianto. Bhisma Adinaya
Para pembicara diskusi panel. Dari kiri ke kanan: Rafael Soenarto, Boedi Mranata, Yudi Latief, Didi Kwartanada, Azmi Abubakar, dan moderator Irwan Julianto. Bhisma Adinaya (Bhisma Adinaya)

Pada hari berikutnya, empat narasumber memaparkan pemahaman yang lebih mendalam seputar kebudayaan peranakan Tionghoa di Indonesia. Pembicara pembukanya adalah Yudi Latief.

Ia dikenal sebagai seorang cendekiawan, ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia, dan Direktur Eksekutif Reform Institute.

“Indonesia adalah the greatest megamelting pot!” kaya Yudi.

Peradaban adalah hasil dari perjumpaan, dan Indonesia memiliki riwayat perjumpaan yang kompleks melebihi riwayat ragam perjumpaan di belahan Bumi manapun. Keragaman perjumpaan itu meliputi perjumpaan dalam konteks geografi, manusia, dan ragam budaya.

“Indonesia adalah pusat peleburan. Indonesia dipersatukan oleh nasib. Indonesia dipersatukan oleh benua yang lepas,” ungkapnya.

Halaman
123
Sumber: Intisari
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved