Jumat, 3 Oktober 2025

Mantan Komandan Kelompok Teroris NII Ungkap Cara Perekrutan Kelompok Radikal

Pendiri NII Crisis Center yang juga Mantan Komandan (Negara Islam Indonesia (NII), Ken Setiawan berbagi cerita mengenai cara perekrutan teroris.

Editor: Sugiyarto
indiatvnews.com
Ilustrasi terorisme 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pendiri NII Crisis Center yang juga Mantan Komandan (Negara Islam Indonesia (NII), Ken Setiawan berbagi cerita mengenai cara perekrutan teroris.

Dalam perekrutan awal teroris, sugesti yang di berikan para perekrut kepada korban adalah kitab suci Alquran.

Dengan begitu, imbuhnya, banyak yang terjebak dan akhirnya memutuskan bergabung, berbaiat dan berjihad dengan versi kelompok radikal.

"Dan tidaklah Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah kepadaku” (Al Quran Surat Adz-Dzaariyaat ayat 56). Demikian ia mengutip.

Ia pun mejelaskan, fitrah manusia adalah seorang hamba yang harus taat beribadah pada Tuhan Nya.

Definisi ibadah adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan Nya. Dimana? Di dalam Kitab Alquran.

Berarti definisi Ibadah adalah menjalankan Alquran dalam kehidupan kita.

Al-quran fungsinya sebagai petunjuk, pembeda, penerang, peringatan, dan sebagai peraturan bagi seluruh umat Islam di dunia.

Ibarat dalam suatu perjalanan ke tempat yang baru, imbuhnya, pasti kita akan menemukan plang atau petunjuk arah.

Apabila kita mengikuti petunjuk arah, maka akan sampai ke tujuan sesuai yang direncanakan.

Namun bila kita seenak sendiri tanpa mengindahkan aturan, maka bisa jadi tersesat dari jalan dan bisa jadi tidak sampai tujuan.

Bila sudah ada petunjuk namun tidak mengindahkan maka sama halnya kita itu buta dan tuli seperti dalam alquran ada ayat yang berbunyi.

"Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang yang tuli dan buta” (Al Quran Surat Al-Furqan: 73).

Jadi Intinya bila seorang hama tidak mau taat kepada Allah dengan menjalankan ibadah, menjalankan perintah dan menjauhi laranganya, maka orang tersebut adalah orangbyang durhaka/ kufur/ kafir.

Pertanyaanya adalah, apakah hari ini kita dalam bernegara sudah berquran? Apakah quran sudah jadi sumber dari segala sumber hukum untuk kita memutuskan perkara?

"Menurut mereka di Indonesia untuk memutuskan perkara bukanlah menggunakan sumber hukum Islam/Alquran, namun menggunakan sumber hukum Pancasila, KUPP peninggalan penjajah Belanda, jadi menurut mereka pancasila bukanlah sumber hukum Islam, tapi merupakan atutan penjajah yang selamanya akan hanya perpihak pada penguasa saja," jelas Ken kepada Tribunnews.com, Senin (28/5/2018).

Lalu, ia lanjutkan cara perekrutan, sang korban ditanya, 'apakah boleh menduakan/menyekutukan Allah, coba ucapkan shahadat, bahwa tidak ada tuhan selain Allah, tidak ada sumber hukum lain selain sumber hukum Allah yaitu alquran.'

"Lalu dijelaskan oleh sang perekrut bahwa ada fakta bahwa peraturan di Indonesia banyak yang melawan hukum Allah."

"Contohnya peredaran minuman keras di toko-toko, berarti pabriknya diijinkan pemerintah. Otomatis pemerintah Undang-undangnya melawan hukum Allah, dan kamu berarti sekarang berada di sebuah negara yang sesuai atau melawan hukum Allah?" demikian ia membocorkan proses perekrutan teroris.

Menurutnya, rata-rata korban menjawab 'ternyata kita berada disebuah negara yang aturan aturabya melawan hukum Allah.'

Perekrutan belum selesai sampai disini.

"Sang korban kemudian diajak bercanda, 'kamu umat Islam, tapi menggunakan aturan yang melawan hukum Allah."

"Berarti kamu sahadatnya masih main-main. Salat itu hukum islam, tapi kamu berada di tempat yang kotor, tempat dimana tidak diberlakukan hukum Islam alias di tempat yang melawan hukum Allah,'" tuturnya.

"Berarti shahadatnya tidak sah, alias belum beriman atau kafir."

Lalu kata Ken, mereka, para perekrut menjelaskan bahwa walaupun KTP Islam dan rajin ibadah tapi bila dilaksanakam di tempat yang kotor, najis maka ibadahnya tidak sah.

"Mereka menggambarkan orang Indonesia yang ber-KTP Islam dan rajin ibadah itu seperti buah apel yang dibungkus alumunium foil tapi berada di tempat sampah."

"Walaupun apel itu streril, tapi karena berada di tempat sampah berarti nilainya bukan apel tapi sampah," ucapnya menirukan cara perekrut teroris melakukan proses perekrutan.

Begitu juga di Indonesia, demikian Ken mengulangi pernyataan para perekrut--walaupun KTP Islam dan rajin ibadah tapi karena berada di sebuah negara yang aturanya melawan hukum Allah, maka menurut mereka bukan umat Islam tapi umat Pancasila yang taghut/berhala.

"Jadi syarat masuk kelompok radikal adalah meninggalkan berhala pancasila yang dianggap sebagai taghut."

"Kenapa harus menolak, mengingkari dan meninggkan pancasila, karena itu adalah taukhid mereka, jadi kalau masih meyakini ada sumber hukum lain selain hukum Islam maka belum dianggap beriman alias Kafir," demikian proses awal perekrutan terjadi.

Menurut Ken, itu baru permulaan. Belum lagi nanti ketika masuk ayat infak, bahwa seorang jamaah harus mengaplikasikan Al-quran Surat Al anam 193.

Inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahirabbil alamin.

Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah.

Mereka mentafsirkan, imbuhnya, dalam berjuang harus totalitas, mengkorbankan apa yang dimiliki bahkan apa yang dicintai. Sebab semua yang kita miliki adalah milik Allah.

"Mereka menafsikan bahwa pimpinan mereka adalah Allah. Karena menurut mereka perintah Pimpinan saja perintah ulil amri. Perintah ulil amri sama saja perintah Rasul. Perintah Rasul sama dengan perintah Allah."

"Jadi menurut mereka perintah pimpinan sama saja perintah Allah, bahkan mereka mentafsikan bahwa pimpinan adalah wakil Allah di muka bumi," jelasnya lebih jauh.

Jadi menurut mereka, kata Ken, perintah pimpinan wajib ditaati sepenuhnya, tidak boleh bertanya atau menolak.

"Mereka doktrinnya adalah Sami'na Wa Atho'na (Kami Mendengar dan Kami Taat)," jelas Ken.

Ken menjelaskan, bila seorang korban sudah Sami'na Wa Atho'na, maka di situlah permulaan ke dunia baru.

"Dia akan menjadi radikal dan bila sudah menjadi radikal, ibarat buah itu sudah matang, untuk menuju aksi terorisme tinggal selangkah, dipoles maka sudah jadi," ucapnya.

Ini yang menurut ken, merupakan tragedi kemanusian, anak muda yang punya semangat tapi belajar dan ketemu dengan orang yang salah sehingga jihadnya pun jihad yang salah jalan.

Bagi Ken, terorisme memang berbahaya, tapi yang lebih berbahaya adalah sikap intolerasi dan radikalisme pemikiran.

Karena ini yang bisa saja sudah terjadi dan ada di sekeliling kita.

"Bila kita tidak waspada maka bisa saja keluarga dan lingkungan kita menjadi sasaran kita," jelasnya.

Waspada boleh, lanjut Ken, tapi jangan sampai phobia.

Justru menurutnya, adanya mereka menjadi motivasi bagi kita untuk belajar islam kepada ahlinya.

"Bila mendapatkan materi yang tidak dimengerti agar ditanyakan kepada ahlinya sebab pintu awal kelompok radikal adalah Hipnosis, bukan hiptotis, pengkondisian, dan pengulangan doktrin sehingga tersugesti bahwa yang disampaikan adalah benar padahal tipuan belaka," pesannya.

Saatnya merajut semangat nasionalisme, tegas dia, artinya bukan hanya semangat ketika nonton bola antara Indonesia melawan Malaysia misalnya.

Tapi, tegas dia, saatnya kita peduli kepada lingkungan sosial.

"Sebab kalau mau jujur, hari ini kita terancam. Tapi kita tidak merasa terancam. Sebab kita sekarang menjadi autis dengan berbagai fasilitas yang modern. Kita hanya sibuk dengan dunia kita dan tidak perduli dengan apa yang terjadi di sekitar kita," ujarnya.

Untuk itu dia berpesan, jangan mau kita di adu domba, antar suku, antar agama dan antar saudara kita oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

"Dia menjelaskan, ini bukan kebanggaan, sebenarnya aib yang tidak perlu diceritakan, tapi semoga pengalaman selama bergabunng bisa bermanfaat agar masyarakat waspada," pesannya.

Di bagian akhir ia membuka diri berkomunikasi terkait Radikalime.

Ken setiwan membuka Forum dialog di Hotline whatsapp 08985151228..(*)

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved