Pilpres 2019
Nama Calon Presiden Hanya Berkutat pada Jokowi, Prabowo, Gatot, dan Lainnya. Mengapa Tak Ada Wanita?
Sampai saat ini, nama bakal calon presiden-wakil presiden dari kalangan perempuan masih minim bahkan nyaris tidak terdengar.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sudah menetapkan waktu pendaftaran calon presiden-wakil presiden di Pilpres 2019 pada 4 Agustus 2018–10 Agustus 2018.
Namun, sampai sejauh ini nama-nama bakal calon presiden-wakil presiden masih berkutat dari kalangan laki-laki, yaitu Joko Widodo, Prabowo Subianto, Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli dan lainnya.
Sampai saat ini, nama bakal calon presiden-wakil presiden dari kalangan perempuan masih minim bahkan nyaris tidak terdengar.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan Indonesia mempunyai figur-figur perempuan dari berbagai latar belakang.
Baca: Zulkifli Bantah Tudingan Amien Rais Dirinya Sandiwara Jajaki Komunikasi dengan Kubu Jokowi
Namun, mereka belum diberikan kesempatan dan kepercayaan bersaing di tingkat nasional.
"Kami mempunyai banyak nama yang bisa masuk bursa sebenarnya. Tetapi ya sekali lagi maskulinitas politik kita terlihat dari nama-nama yang muncul ke permukaan," tutur Titi, ditemui di kantor KPU RI, Jumat (27/4/2018).
Dia mencontohkan, dua nama perempuan yang menjabat menteri di kabinet kerja di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo.
Mereka yaitu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
"Itu figur bisa diperhitungkan untuk masuk bursa dan saya kira penerimaan publik terhadap dua nama itu juga bagus," kata dia.
Selain itu, kata dia, figur-figur di partai politik ada yang menduduki posisi-posisi elite.
Hanya saja nama-nama mereka tenggelam oleh diskursus atau wacana politik yang sangat dominan diisi laki-laki.
Dia mencontohkan, seperti Ketua Umum PSI Grace Natalie, politisi PKS Ledia Hanifa Amaliah, dan politisi Partai Golkar Hetifah.
"Itu kan melihat perempuan masuk ke pusaran elite politik itu hanya saja apakah kita mau memberikan ruang mereka atau tidak," kata dia.
Sayangnya, dia menilai, belum ada kesempatan dan kepercayaan bagi kaum hawa.
Apalagi, politik mengedepankan elektabilitas survei.
Sementara itu ruang mengangkat perempuan yang mempunyai nama, kapasitas dan rekam jejak baik itu tidak dilakukan.
"Yang membuat narasi politik terkait pencapresan diisi oleh figur-figur dominan laki-laki, maskulin, maskulinitas. Politik ditentukan, karena orientasi yang dominan pada elektabilitas," tambahnya.