Selasa, 30 September 2025

Ketua DPR: RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal Tekan Korupsi dan Terorisme

India, Bulgaria, Rusia, dan termasuk Indonesia yang transaksi tunainya di atas 60 persen memiliki persepsi tingkat korupsi yang buruk

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Hendra Gunawan

Ketua DPR: RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal Tekan Korupsi dan Terorisme

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo menegaskan pentingnya RUU tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal.

Hal ini demi memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

Menurutnya, dengan adanya RUU ini diharapkan mampu membatasi transaksi uang kartal atau tunai yang sering disalahgunakan oleh pelaku tindak pidana korupsi, terorisme serta bisnis illegal lainnya.

Bamsoet sapaan akrabnya memaparkan umumnya para pelaku tindak pidana korupsi, terorisme atau money laundering selalu berupaya menghindari transaksi melalui lembaga keuangan.

Sebab, jika melalui lembaga keuangan akan sangat mudah dilakukan pelacakan kembali transaksi yang mereka lakukan.

“Para pelaku tindak pidana lebih memilih menggunakan uang tunai agar transaksi kejahatannya tidak mudah terdekteksi," kata Bamsoet dalam acara Diseminasi RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal 'Optimalisasi Penelusuran Aset Hasil Tindak Pidana Melalui Regulasi Pembatasan Transaksi Uang Kartal', di Jakarta, Selasa (17/4/2018).

Lebih lanjut Bamsoet melihat, dalam kasus tindak pidana korupsi dan terorisme di Indonesia, para pelaku lebih banyak menggunakan transaksi keuangan tunai.

Penggunaan transaksi tunai dalam kasus korupsi menjadi kendala bagi Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam melakukan pelacakan aliran dana.

Para penyidik pun sukar untuk menelusuri kembali transaksi tersebut, karena tidak tercatat dalam sistem keuangan.

“Terungkapnya beberapa kasus korupsi dan terorisme yang diduga dibiayai dari pihak dalam maupun luar negeri, menimbulkan kecurigaan bahwa kasus-kasus tersebut dilakukan dengan transaksi tunai. Sehingga, transaksi tersebut tidak tercatat dan aparat berwenang sulit untuk melakukan pelacakan," kata Bamsoet.

Politikus Partai Golkar ini mengungkapkan, besaran jumlah transaksi tunai di suatu negara memiliki korelasi dengan indeks korupsi suatu negara.

Negara dengan jumlah transaksi tunainya tinggi, memiliki persepsi tingkat korupsi yang lebih buruk jika dibandingkan dengan negara yang transaksi tunainya rendah.

Sebagai contoh, India, Bulgaria, Rusia, dan termasuk Indonesia yang transaksi tunainya di atas 60 persen memiliki persepsi tingkat korupsi yang buruk.

Sementara Denmark, Swedia, dan Finlandia yang transaksi tunainya rendah, sekitar 10 persen sampai 20 persen, memiliki persepsi tingkat korupsi sangat rendah.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved