KPK Akan Periksa Mantan Ketua Fraksi DPR Terkait Kasus E-KTP
"Fakta persidangan itu akan didalami lagi oleh KPK untuk kemudian dianalisis sejauh apa bisa ditindaklanjuti,"
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana memanggil beberapa mantan Ketua Fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menjabat saat proses pembahasan anggaran mulai 2011-2013.
Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk menindaklanjuti keterangan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, mengenai penerimaan uang sejumlah Ketua Fraksi dalam proyek e-KTP.
Baca: IIni Kata Fadli Zon Soal Kabar Cak Imin Akan Segera Temui Prabowo Subianto
Keterangan tersebut diungkapkan oleh Nazaruddin ketika menjadi saksi dalam persidangan terdakwa mantan Ketua DPR Setya Novanto.
"Fakta persidangan itu akan didalami lagi oleh KPK untuk kemudian dianalisis sejauh apa bisa ditindaklanjuti," kata Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang dikonfirmasi, Selasa, (27/2/2018).
Baca: Fadli Zon: Masyarakat Ingin Presiden Baru di 2019
Dalam persidangan sebelumnya terkuak bahwa skandal proyek e-KTP "digawangi" tiga partai terbesar ketika itu, dengan kode-kode warna.
Biru mengartikan Demokrat, Kuning yakni Partai Golkar dan Merah adalah PDIP.
Saut mengatakan, pihaknya terus mengembangkan kasus ini, pasalnya kerugian negaranya mencapai Rp 2,3 triliun.
Baca: Umrah Bersama Istri, Benarkah Kapolri Bertemu Habib Rizieq ?
"Kalau ada fakta-fakta yang bisa kami kembangkan nanti maka hanya masalah waktu saja. Namun kalau tidak, ya kami harus hati-hati," kata Saut.
Diketahui pada surat dakwaan jaksa KPK disebutkan kalau Golkar sat itu turut diperkaya dari e-KTP sebesar Rp 150 miliar, Partai Demokrat Rp 150 miliar dan PDIP senilai Rp 80 miliar.
Adapun Ketua Fraksi Golkar saat itu dijabat oleh Setya Novanto, sementara PDIP yakni Puan Maharani dan Demokrat dijabat Anas Urbaningrum lalu digantikan oleh Jafar Hapsah.
Untuk diketahui, sejauh ini dari ketiga nama tersebut baru Setya Novanto yang dijerat dan ditahan penegak hukum lembaga antirasuah tersebut.