Begini Penjelasan Menteri Agama Soal Aturan Zakat Bagi Aparatur Sipil Negara Muslim
“Demikian halnya dengan zakat. Yang mewajibkan adalah agama. Pemerintah memfasilitasi umat muslim untuk berzakat,"
Pertama, fasilitasi negara sehingga tidak ada kewajiban, apalagi paksaan.
“Bagi ASN muslim yang keberatan gajinya disisipkan sebagai zakat, bisa menyatakan keberatannya. Sebagaimana ASN yang akan disisipkan penghasilannya sebagai zakat, juga harus menyatakan kesediaannya,” tutur Menag.
“Jadi ada akad. Tidak serta merta pemerintah memotong atau menghimpun zakatnya,” sambungnya.
Baca: Benda Ini Ditemukan Saat Petugas Melakukan Pencarian Korban Longsor di Puncak
Prinsip kedua, kebijakan ini hanya berlaku bagi ASN muslim.
Sebab, Pemerintah perlu memfasilitasi ASN muslim untuk menunaikan kewajibannya.
Kewajiban itu tentunya bagi ASN Muslim yang pendapatannya sudah mencapai nishab (batas minimal penghasilan yang wajib dibayarkan zakatnya).
“Mereka yang penghasilannya tidak sampai nishab, tidak wajib berzakat. Jadi ada batas minimal penghasilan yang menjadi tolak ukur. Artinya ini juga tidak berlaku bagi seluruh ASN muslim,” katanya.
Secara operasional, dana zakat ini nantinya akan dihimpun Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang didirikan ormas Islam dan kalangan profesional lainnya.
Potensinya sekitar Rp 10 triliun.
Zakat yang dihimpun nantinya akan digunakan untuk kemaslahatan masyarakat, baik untuk pendidikan, pesantren, madrasah, sekolah, beasiswa, rumah sakit, ekonomi umat, termasuk untuk membantu masyarakat yang mengalami musibah bencana.
“Ini seperti yang selama ini sudah dilakukan BAZNAS dan LAZ,” tuturnya.
Lanjut dia, BAZNAS dan LAZ setiap tahun diaudit akuntan publik.
"Melalui aturan ini, kami ingin menambahkan agar secara periodik mereka juga harus menyampaikan ke publik tentang progres penghimpunan dan pendayagunaan zakat. Ini juga terkait trust atau kepercayaan,” katanya.
Fasilitasi zakat, kata Menag, sebenarnya bukan hal baru.