Munaslub Partai Golkar
Selamatkan Golkar Dengan Cara Segera Ganti Setnov dan Tarik Wakil dari Pansus
Kalau tak ditutupi, apalagi diabaikan jelas akan dapat membuat Golkar makin turun elektabilitasnya
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik Ray Rangkuti melihat bukan hanya kasus hukum Ketua Umum Setya Novanto membuat merosotnya elektabilitas Partai Golkar.
Keterlibatan dan peran sentral politikus Golkar dalam Pansus Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga turut kian menurunkan elektabilitas partai berlambang beringin tersebut.
Saat yang sama, imbuhnya, beberapa anggota pansus KPK dari fraksi Golkar juga disebut dalam lingkaran kasus korupsi E-KTP.
"Beberapa telah dimintai keterangan. Jadi dua kasus inilah titik lemah Golkar. Kalau tak ditutupi, apalagi diabaikan jelas akan dapat membuat Golkar makin turun elektabilitasnya," ujar Ray Rangkuti kepada Tribunnews.com, Selasa (28/11/2017).
Memang menurut Ray Rangkuti, tak ada penyelamatannya kecuali menyegerakan Munaslub untuk menggantikan Setya Novanto sebagai Ketua Umum Golkar.
Baca: Temui Din Syamsuddin, Perwakilan dari AS Ingin Belajar Keragaman dari Indonesia
Selain itu kata dia, tarik wakil Golkar dari Pansus KPK.
"Dan tempatkan pengganti Setya Novanto di pimpinan DPR yang bebas dari kasus, atau potensial akan terjerat kasus," katanya.
Diberitakan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP yang menjerat Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto berdampak buruk pada prestasi partainya. Partai berlambang pohon beringin itu kini disalip Partai Gerindra dalam hal elektabilitas.
Hal itu didasarkan hasil Survei Nasional Poltracking Indonesia bertajuk "Evaluasi Pemerintahan Jokowi-JK, Meneropong Peta Elektoral 2019." Survei tersebut dilaksanakan pada 8-15 November 2017.
Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda mengungkapkan, pilihan partai politik saat ini masih didominasi PDIP sebesar 23,4 persen. Pada posisi kedua, ada Partai Gerindra 13,6 persen. Sementara, Partai Golkar ada di posisi ketiga dengan 10,9 persen.
Hal ini berbeda dengan konstelasi hasil Pemilu 2014, di mana PDIP meraih 18,95 persen suara, Partai Golkar 14,75 persen suara, dan Partai Gerindra 11,81 persen suara.
Menurut Hanta, disalipnya Golkar oleh Gerindra ini ini tak lepas dari kasus dugaan korupsi e-KTP yang tengah menjerat Setnov.
"Kalau ada kader Golkar tersangkut kasus mungkin publik pemaklumannya tinggi. Tapi ini kan simbol, Ketua Umum, jadi memberi dampak secara elektoral. Maka kasus ini jadi beban elektoral bagi Golkar, mengganggu citra (Golkar di mata) publik," kata Hanta, di Jakarta, Minggu (26/11/2017).
Namun, Hanta menduga, faktor kasus Setnov bukan menjadi satu-satunya penyebab elektabilitas Golkar kalah oleh Gerindra. Ada faktor lain yang membuat itu terjadi.