PDI Perjuangan Dorong RUU PKS Segera Ditetapkan Jadi UU
Sri Rahayu mengatakan kedua peristiwa itu menunjukkan pelaku dan korban KDRT tak mengenal latar belakang
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) oleh DPR dan pemerintah didorong untuk dapat segera diselesaikan dan ditetapkan menjadi UU.
Paling tidak menurut Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Kesehatan, Perempuan dan Anak, Sri Rahayu, dua kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Jakarta yang menyebabkan kematian yakni pembunuhan terhadap dokter berinisial LS oleh suaminya yang juga seorang dokter, berinisial HM dan seorang terapis berinisialDS, yang dibunuh suaminya, berinisial AG, menjadi dasar kemendesakannya.
Sri Rahayu mengatakan kedua peristiwa itu menunjukkan pelaku dan korban KDRT tak mengenal latar belakang ekonomi, pendidikan, usia maupun, sosial dan budaya.
Pada kasus pembunuhan dr LS, pernah melaporkan kasus KDRT kepada pihak berwajib namun atas dukungan saudaranya, korban malah memilih untuk bercerai.
“Kasus itu menunjukkan korban memilih untuk pengadilan agama (cerai) daripada pengadilan umum (pidana KDRT). Hal ini menunjukkan masih lemahnya pemahaman penegakkan hukum dan perlindungan korban yang menyeluruh. Juga ada celah ketika pelaku dapat menjangkau korban dan melakukan kekerasan ulang,” kata Sri, kepada Tribunnews.com, Jumat (24/11/2017).
Baca: Panggil Mantan KSAU, Puspom TNI Harus Penuhi Syarat Ini
Untuk itu bercermin pada kasus tersebut, Sri menilai perlu segerra pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) oleh DPR dan pemerintah dapat segera diselesaikan untuk ditetapkan menjadi UU.
Dia juga mengimbau kepada masyarakat untuk memantau dan mengawasi prosesnya.
“Ketua Umum PDI Perjuangan dan Gerakan Mahasiswa melawan Kekerasan Seskual 2016, maupun melalui DPP PDI Perjuangan kepada tiga pilar partai baik pusat maupun daerah sudah mendorong agar RUU PKS menjadi RUU Prioritas prolegnas DPR dapat segera disahkan,” ujarnya.
Sri juga berharap dukungan konkrit dari pemerintah dalam implementasi atas regulasi UU, Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Bupati (Perbup) dan lainnya. Selain itu, juga harus ada optimalisasi mekanisme pelayanan terpadu bagi korban KDRT.
Terutama perempuan dan anak melalui peningkatan sinergi antara institusi pemerintah sehingga kekerasan terhadap perempuan bukan sebagai delik aduan lagi.
“Aparat kepolisian, penegak hukum lain dan rumah sakit untuk memprioritaskan penanganan korban kekerasan dengan metode kepekaan pada korban, pendampingan dan pemulihan korban, dengan tidak mengabaikan upaya tuntutan pidananya,” katanya.
Menurut dia, pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Polri, Kejaksaan Agung dan Pemda juga harus bisa bersinergi dengan Women Crisis Center, organisasi masyarakat sipil, tokoh masyarakat dan adat serta tokoh agama dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
“Peran media massa juga sangat penting untuk mensosialisasikan hak-hak korban dengan memberitakan contoh sukses daerah yang memberi layanan pada korban maupun kisah survivor dan dapat menginspirasi bagi perempuan untuk berjuang bagi kesejahteraanya dan keluarganya,” ujarnya.
Lebih jauh, Sri menambahkan agar seluruh elemen pusat dan daerah di Indonesia untuk mendukung kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 25 November-10 November yang sudah dilakukan diseluruh dunia.
“Pengesahan kebijakan negara memang telah meningkatkan kesadaran masyarakat dan pemerintah untuk melindungi perempuan dan anak dari kekerasan. Namun tanpa implementasi dan penegakkan hukum di lapangan, maka korban akan terus menderita dan pelaku dapat mencari korban baru,” katanya.(*)