Minggu, 5 Oktober 2025

Tata Kelola Pelayanan Masih Buruk Moratorium TKI ke Timur Tengah Belum Layak Dicabut

masih banyak buruh migran yang diberangkatkan, padahal kemampuannya belum memenuhi.

zoom-inlihat foto Tata Kelola Pelayanan Masih Buruk Moratorium TKI ke Timur Tengah Belum Layak Dicabut
ist
Ilustrasi TKI di Arab Saudi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyatakan belum saatnya moratorium Tenaga Kerja Indonesia(TKI) ke Timur Tengah dicabut.

Sebabnya, belum ada perbaikan tata kelola dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Apalagi, moratorium merupakan upaya pemerintah melindungi masyarakat.

Negara melalui agenda Nawa Cita berkomitmen melindungi seluruh warga negaranya, termasuk 1,8 juta jiwa Warga Negara Indonesia(WNI) yang menjadi TKI bermasalah di seluruh penjuru dunia.

Upaya yang telah ditempuh pemerintah antara lain memulangkan para TKI bermasalah, dan setelah tiba di daerah asal akan diberdayakan melalui program-program pemberdayaan.

"Pemerintah telah berlakukan moratorium untuk melindungi TKI harus tetap dilakukan, khususnya Penatalaksanaan Rumah Tangga (PLRT) ke seluruh negara di Timur Tengah," kata Sekretris Jenderal SBMI Bobby Alwi dalam pernyataan persnya, Selasa(26/9/2017).

Menurutnya, moratorium merupakan salah satu bentuk perlindungan kepada WNI yang memilih menjadi Buruh Migran Indonesia (BMI).

Kebijakan tersebut diambil oleh pemerintah sebagai akibat dari banyaknya praktik bisnis penempatan buruh migran yang tidak beres.

"Sampai saat ini belum ada perbaikan tata kelola pelayanan TKI. Jadi, pencabutan moratorium belum tepat dilakukan," ujarnya.

Sebanyak 70 % persoalan buruh migran bermula dari dalam negeri.

Misalnya masalah-masalah pra penempatan yang memposisikan TKI sebagai komoditi dagang.

Sisanya adalah masalah di negara tujuan yang secara kultural memang berbeda dengan Indonesia.

"Alangkah lebih baik jika penempatan di negara yang secara kultural berbeda jauh (menganggap TKI sebagai budak) dihentikan, seperti penempatan di Timur Tengah dengan banyaknya korban perdagangan manusia," jelasnya.

Seperti kasus terbaru yang dipantau SBMI.

Nasib kurang beruntung menimpa Msn (24), TKW asal Kampung Waliwis Utara, Desa Waliwis, Kecamatan Mekar Baru, Kabupaten Tangerang, Banten yang bekerja di Timur Tengah.

Msn dimasukkan ke tahanan di daerah Sahab, Jordania oleh majikannya yang berinisial AF dan ZM, atas tuduhan telah melakukan sihir.

Ia juga dituduh bersekongkol dengan pencuri yang diduga telah mencuri uang majikannya sebesar 3.000 Dinar.

Hal tersebut dikatakan oleh Misnam (47), ayah kandung Msn pada saat menyampaikan pengaduan terkait permasalahan anaknya ke Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) SBMI Banten, Jumat(22/9/2017) lalu.

Misnam berharap, pemerintah Indonesia melalui perwakilannya di Damascus bisa membebaskan dan memulangkan anaknya yang sudah 1 tahun setengah mendekam di tahanan daerah Sahab, Jordania.

Sementara Ketua DPW SBMI Banten, Maftuh Hafi mengatakan, sebenarnya Msn masih berusia 16 tahun ketika direkrut oleh sponsor bernama Samsuri.

Namun, kata Maftuh, Msn tetap diproses sebagai Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) dengan tujuan penempatan ke Timur Tengah dan pada Agustus 2008, Misnam diberitahu oleh Samsuri bahwa anaknya akan diberangkatkan ke Jordania.

Setelah 8 bulan berada di Jordan, kata Maftuh, Msn baru bisa mengabarkan keberadaannya ke keluarga via surat.

Dalam isi suratnya Msn bercerita bahwa majikannya susah untuk membayar gajinya dan ia tidak diberi kebebasan untuk berkomunikasi melalui telepon seluler.

“Pada bulan November 2016 yang lalu keluarga sudah pernah mengadu ke BNP2TKI, tetapi sampai saat ini masih belum ada hasil. Kami akan terus kawal kasus ini," tegas Maftuh.

Rencana pencabutan moratorium oleh BNP2TKI sama saja dengan mempertaruhkan nyawa TKI hanya untuk kepentingan bisnis.

Jika itu terjadi maka sama saja dengan menikmati keuntungan semu dari penderitaan yang dirasakan oleh banyak TKI yang disiksa.

Seolah-olah kita menutup mata dari buruknya kekerasan yang menimpa di negara penempatan.

Diskriminasi pun sudah ada pada kebijakan yang telah dibuat pemerintah terhadap mekanisme penempatan.

TKI formal selama ini diberangkatkan pemerintah, sedangkan TKI non formal/ pekerja rumah tangga (dengan kecendrungan lemah secara SDM) malah diurus oleh swasta.

Peningkatan kualitas pendidikan di Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) untuk buruh migran rasanya hanya isapan jempol belaka.

Karena, masih banyak buruh migran yang diberangkatkan, padahal kemampuannya belum memenuhi.

"Apalagi, banyak negara penempatan TKI yang tidak memiliki regulasi bagus untuk buruh migran. Tak heran hal ini berakibat semakin banyaknya individu bermasalah di negara penempatan, "ujar Maftuh.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved