Korupsi KTP Elektronik
Status Miryam di DPP Hanura Tunggu Kekuatan Hukum Tetap
Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) mengganti kadernya Miryam S Haryani dari DPR. Miryam tercatat sebagai Anggota Komisi V DPR.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) mengganti kadernya Miryam S Haryani dari DPR. Miryam tercatat sebagai Anggota Komisi V DPR.
Pergantian ini terkait status Miryam yang telah dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kesaksian palsu.
"Saya PAW (Pergantian Antar Waktu) dia hari ini di DPR. Saya mengapresiasi kepada Polri. Ini mempercepat proses hukum," kata OSO, Rabu (3/5/2017).
Miryam yang tak lain mantan anggota Komisi II DPR itu sempat berstatus DPO KPK sebelum ditangkap polisi di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
OSO kemudian memastikan kembali, status Miryam di DPP Hanura belum diganti karena menunggu kekuatan hukum tetap atau inchraht.
"Sementara saya ganti posisinya," kata Ketua DPD itu.
Miryam adalah tersangka keempat dalam kasus korupsi e-KTP setelah Irman, Sugiharto, dan Andi Agustinus alias Andi Narogong yang ditangani KPK.
Atas perbuatannya, Miryam dijerat dengan Pasal 22 jo Pasal 35 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman 3-12 tahun penjara.
Miryam diduga dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar di persidangan e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto.
Setelah ditangkap polisi, KPK langsung menahan Miryam.
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta beberapa waktu lalu, Miryam membantah semua keterangan yang ia sampaikan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) soal pembagian uang hasil korupsi e-KTP.
Dalam BAP itu, Miryam menjelaskan tentang pembagian uang dalam kasus e-KTP.
Ketua Dewan Pembina Partai Hanura Wiranto enggan berkomentar banyak soal penetapan tersangka politisi Hanura, Miryam S Haryani.
Wiranto menegaskan, keputusan soal status keanggotaan Miryam di Hanura pasca-penetapan tersangka berada di tangan Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang.
"Tanyakan ke Ketua Umum. Saya tidak bersedia menanggapi," ujar Wiranto singkat, seusai menghadiri pembukaan Hari Kebebasan Pers Sedunia kemarin.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Hanura Dadang Rusdiana menambahkan, partainya masih menunggu putusan praperadilan yang diajukan Miryam.
Sementara itu, terkait usulan hak angket KPK yang sudah disetujui melalui paripurna DPR beberapa waktu lalu, OSO, Ketum Hanura meminta waktu seraya akan mengumpulkan para anggota fraksinya di DPR terkait hal ini.
"Saya enggak tahu angket itu sudah bergulir karena saya enggak dilaporkan. Saya mau minta klarifikasi. Karena harusnya saya sebagai Ketua Umum, memang saya enggak berada di tempat, tapi kan bisa saja ditunggu. Saya baru pulang tadi pagi," kata OSO.
Ia juga mengaku tak tahu atas seizin siapa dukungan Fraksi Hanura terhadap hak angket KPK.
Sementara saat ditanya terkait sikap Hanura terhadap hak angket, Wakil Ketua MPR RI itu mengaku tak mengerti soal hukum. Namun ia berpendapat, sebaiknya proses hukum dikedepankan.
"Proses hukum jalan dulu. Baru nanti kalau kegagalan hukum ada, baru ada angket," kata Oesman.
Dari 26 anggota DPR pengusul hak angket, tujuh orang di antaranya merupakan anggota Fraksi Partai Hanura.
Usulan hak angket dimulai dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III kepada KPK terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Alasannya, dalam persidangan disebutkan bahwa politisi Partai Hanura Miryam S Haryani mendapat tekanan dari sejumlah anggota Komisi III.
Komisi III mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam, yang kini menjadi tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP.
Fahri Dilaporkan
Kemarin, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman melaporkan pimpinan DPR yang diduga melanggar kode etik saat memimpin rapat paripurna DPR pengambilan keputusan hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Mengadukan Fahri Hamzah, Taufik Kurniawan, Setya Novanto, dan Agus Hermanto. Teradu utama Fahri pimpinan sidang kan harusnya mencegah itu. Fadli tidak karena walk out," kata Boyamin.
Boyamin menjelaskan dasar pelaporan tersebut. Pengambilan keputusan persetujuan hak angket DPR tentang kinerja KPK tidak melalui voting setelah terdapat anggota yang tidak setuju.
"Bahkan minimal tiga fraksi yang menyatakan tidak setuju sejak awal dan disampaikan perwakilan fraksi. Pengambilan keputusan persetujuan paripurna DPR ketika aklamasi tidak dapat ditempuh maka harus dilakukan voting yang kemudian dituangkan dalam risalah sidang," kata Boyamin.
Menurut Boyamin, rapat tersebut tidak melalui mekanisme aklamasi maupun voting sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR No 1 tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR Bab XVII.
"Tidak ada pengambilan putusan secara fisik. Kan harusnya ada separuh. Jika kemarin dihitung kan keliahatan ada belangnya. Ketika tidak ada setuju kan dilakukan lobi. Kemarin tidak ada penundaan untuk lobi," kata Boyamin.
Selain itu, Boyamin mengatakan tidak ada daftar pengusul hak angket KPK saat rapat paripurna. Hal itu berbeda ketika pengajuan hak angket Century.
"Kemarin seperti disembunyikan. Katanya 26 tapi cuma 19 orang. Turut terlapor juga Taufik Kurniawan, Agus Hermanto, tidak mencegah pimpinan yang bablas angine itu. Fadli enggak, karena WO," kata Boyamin. (tribun/fer/jar)