Korupsi KTP Elektronik
Hak Angket e-KTP, Publik Akan Nilai Parlemen Antiproses Hukum dan Antikritik
publik akan menilai bahwa Parlemen antiproses hukum, antikritik dan resisten atau tidak terbuka.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Proses pemeriksaan dugaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) e-KTP merupakan ranah hukum pidana dalam konteks ajudikasi atau sistem peradilan.
Oleh sebab itu, Koordinator Program PBHI Nasional, Julius Ibrani menegaskan, ranah ajudikasi ini tidaklah boleh dan tidak dapat diintervensi oleh ranah apapun juga, termasuk ranah politik, yakni Hak angket e-KTP.
"Usulan Hak Angket merupakan ranah politik dari Parlemen. Oleh sebab itu, tidak akan bisa mempengaruhi proses ajudikasi atau peradilan dugaan Tipikor e-KTP ini," kata pegiat antikorupsi ini kepada Tribunnews.com, Rabu (15/3/2017).
Jikapun Parlemen ingin menunjukkan citra baik atau komitmen antikorupsi, dengan melakukan pemeriksaan atau evaluasi holistik dan sistemik atas dugaan Tipikor e-KTP itu, imbuhnya, sepatutnya dibawa ke Dewan Kehormatan untuk diperiksa. Yakni apakah anggota parlemen yang nama-namanya disebut masih memiliki kehormatan tanpa pelanggaran sedikitpun atas proyek e-KTP.
Jika Hak Angket ditujukan pada pemeriksaan dan evaluasi atas proses hukum yang dilakukan oleh KPK, maka yang muncul adalah sebaliknya.
Karena kata Julius Ibrani, publik akan menilai bahwa Parlemen antiproses hukum, antikritik dan resisten atau tidak terbuka.
"Bukannya citra baik yag muncul," ujarnya.
Mengenai hak angket, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah merasa kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) penuh kejanggalan.
Perasaan itulah yang membuat Fahri melempar digulirkannya hak angket e-KTP di DPR.
Satu kejanggalan itu, kata dia, terkait nama-nama pejabat legislatif dan eksekutif yang disebut dalam dakwaan kasus e-KTP.
Menurut Fahri, nama-nama legislator yang disebut baru dilantik pada saat penganggaran e-KTP.
Fahri merasa tak masuk akal jika ada konspirasi di antara mereka yang baru saja dilantik.
"Kalau itu disebut konspirasi, bagaimana bisa anggota DPR baru dengan menteri baru langsung bikin kesepakatan," ujar Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/3/2017).
Selain itu, pada 2014 Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) membuat audit di akhir periode DPR dan pemerintahan lalu.
BPK menyatakan kedua lembaga tersebut bersih.
"Jadi kan aneh. Lima tahun satu periode presiden dan DPR tiba-tiba di ujung dia bilang ada kerugian setengah dari APBN," ujarnya.