Sabtu, 4 Oktober 2025

Bedah Buku Trimurti di PPM Assalam Mojokerto Hadirkan Sutradara Film

Kehadiran Mas Sigit di acara bedah buku untuk menjajaki kemungkinan sejarah yang ditulis di buku Trimurti diangkat ke layar lebar.

Penulis: Husein Sanusi
Tribunnews.com
Bedah Buku Trimurti, Pendiri Pondok Modern Gontor, di Balai Pertemuan Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jumat (2/9/2016). 

TRIBUNNEWS.COM, MOJOKERTO - Buku sejarah Trimurti, pendiri Pondok Modern Gontor akan kembali dibedah. Kali ini akan digelar di Pondok Pesantren Modern (PPM) Assalam, Mojokerto, Jawa Timur, Minggu (9/10/2016).

Menariknya, pada momen kali ini konsep acara dibikin berbeda dari momen-momen bedah buku sebelumnya. Panitia penyelenggara mendatangkan sutradara Film, Sigit Ariansyah.

"Kehadiran Mas Sigit di acara bedah buku untuk menjajaki kemungkinan sejarah yang ditulis di buku Trimurti diangkat ke layar lebar. Meski ini terlalu dini tapi minimal kita sudah mulai memikirkan ke arah sana," kata Panitia Penyelenggara dari Tim Etifaq, David Rusdiyanto.

Pembicara lainnya yang diagendakan hadir di acara tersebut selain Tim Penulis Trimurti antara lain; Ustadz Nasrulloh Zarkasyi (Putra dari KH Imam Zarkasyi), dan Ustadz Nurhadi Santoso (Cucu dari Rachmat Soekarto/Pak Lurah).

Bedah buku Trimurti yang kesekian kalinya terlaksana di beberapa kota ini digelar berkat kerjasama antara IKPM Mojokerto, IKPM Jombang, Pondok Pesantren Modern Assalam dan Etifaq Production.

Kembali dengan kehadiran Sigit Ariansyah yang juga merupakan alumni Gontor angkatan 90, Sigit sudah menyampaikan beberapa hal yang akan disampaikannya lewat sebuah ulasan di blog pribadinya dengan akun, sigitariansyah.com. Berikut ulasan Sigit di blog tersebut:

Buku Trimurti, Upaya Visualisasi Titik Berangkat Perjalanan Gontor

Sejak awal menerima buku ini, saya sudah gak sabar ingin segera membaca. Bukan saya sebegitunya haus bacaan, tapi memang sudah lama saya mereka-reka visual cerita sejarah yang tentu sudah sering saya dengar tentang tiga tokoh pendiri Pondok Modern Gontor, para Kyai dan guru-guru saya, Trimurti, Allah Yarhamuhum.

Mereka-reka visual? Ya. Mungkin karena hobi dan profesi saya yang biasa bertugas memvisualkan konsep, dan karena itu juga saya menggunakan istilah “Visualisasi” dalam sub judul catatan ini.

Tapi sebenarnya bukan semata itu. Menurut saya manusia selain makhluk sosial, dia juga makhluk visual. Allah men-disain otak kita bekerja secara visual. Psikolog Tony Buzan berpendapat bahwa otak manusia bekerja dengan gambar dan asosiasi. Sebab itu dia menyajikan metode Mind Mapping dalam upaya visualisasi ide. Buktinya, ketika kita mendengar atau membaca sebuah cerita, otak kita otomatis memetakan suasana set lokasi, karakter dan bodytype tokoh dalam cerita dan seterusnya. Bukan deretan teks atau mimik si pencerita yang kita bayangkan.

Dan jangan lupa bahwa secara sejarah dan tradisi, masyarakat kita sejak dulu adalah masyarakat penonton, bukan masyarakat pembaca. Budaya Menonton sudah menjadi budaya bangsa kita sejak ratusan tahun silam. Ketoprak, wayang kulit, ludruk dan banyak lagi, terbukti mampu menjadi media komunikasi penyampaian pesan cukup efektif kepada masyarakat luas, baik oleh kalangan penguasa maupun tokoh-tokoh religi seperti Sunan Kalijaga dengan wayang kulitnya dsb.
Barangkali begitulah jawaban saya ketika pernah suatu hari ditanya oleh para sahabat dan asatidz tentang kemungkinan mem-film-kan buku ini. Tentu saja masih banyak fariabel lain yang harus dipenuhi untuk mewujudkan sebuah film dari catatan sejarah yang luar biasa ini.

Seperti biasa membaca buku sejarah, tentu saya sudah menyiapkan diri sedang berhadapan dengan sebuah karya sastra sejarah ataukah sebuah catatan peristiwa biasa dengan metode jurnalisme biasa. Melahap buku Trimurti ini, jujur ada sedikit kebimbangan dalam saya bersikap.

Tentu saja kita tidak bisa semena-mena menilai buku Trimurti ini sebagai karya sastra biasa dengan berbagai subyektifitas penulisnya. Sebagai sebuah buku, Trimurti ini cukup memuat alur informasi dan ideologi para pendiri Gontor secara akurat sesuai nara sumber yang tersisa. Sebagai sebuah catatan sejarah, memang ada detil yang hilang secara imajinasi visual saya sebagai pembaca. Saya maklum, betapa complicated-nya melakukan riset dengan merunut sejarah panjang perjuangan beliau-beliau dalam waktu dan media terbatas.

Saya cukup memahami kesulitan yang dihadapi tim Etifaq, saudara Muhammad Sanusi dan kawan-kawan, penulis buku Trimurti ini. Di mana Trimurti adalah sebuah catatan sejarah perjuangan para Tokoh dengan 3 katakter dan peran berbeda, di waktu dan tempat yang sporadis tapi untuk satu tujuan yaitu pendidikan ummat. Bukan perkara mudah memilih menulis fakta sejarah atau sekedar menyajikan cuplikan informasi semacam jurnalistik tentang kilasan suatu peristiwa. Apalagi menyangkut banyak hal yang harus diakomodir.

Saya tertarik ketika catatan buku ini sempat berangkat dari Pesantren Tegalsari yang fenomenal meski tidak banyak. Penulis juga memberi porsi pada sisi emosional untuk mencoba menyentuh sisi sensitif pembaca dengan memberi pondasi kuat berupa touch of maternity dari Ibunda Nyai Santoso. Ya, ibu adalah bahasa hati yang universal. Saya kira penulis cukup cerdas membangun keseluruhan tulisan dengan pondasi peran penting seorang wanita yang luar biasa, Nyai Santoso, ibunda Trimurti.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved