Senin, 6 Oktober 2025

Kasus Suap Penitera PK

Nurhadi Minta Rp 3 Miliar ke Lippo Group, Gelar Turnamen Tenis

Kali ini, Nurhadi masuk dalam dakwaan kasus dugaan suap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi menjadi saksi sidang kasus dugaan suap kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan terdakwa Doddy Aryanto Supeno di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (15/8/2016). Dalam sidang lanjutan tersebut Jaksa Penuntut Umum KPK menghadirkan tiga orang saksi yang salah satunya yaitu Nurhadi. TRIBUNNEWS/HERUDIN 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Nama mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi Abdurrahman kembali disebut dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Kali ini, Nurhadi masuk dalam dakwaan kasus dugaan suap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.

Dalam dakwaan Edy, Nurhadi disebut pernah meminta uang Rp 3 miliar kepada eks Presiden Komisaris Lippo Group, Eddy Sindoro.

Uang sebanyak itu diminta Nurhadi untuk keperluan digelarnya turnamen tenis Persatuan Tenis Warga Pengadilan (PTWP) memperebutkan Piala Ketua Mahkamah Agung RI pada Agustus 2015 lalu.

Awal mula permintaan duit itu bemrula ketika‎ PT Jakarta Baru Cosmopolitan (JBC) yang merupakan perusahaan di bawah naungan Lippo Group menghadapi perkara terkait kepemilikan tanah punya ahli waris Tan Hok Tjie di Gading Serpong, Tangerang. JBC mengetahui adanya permohonan eksekusi lanjutan di PN Tangerang dari pihak Tan Hok Tjie terhadap tanah yang sudah dikuasai JBC tersebut.

"Permohonan eksekusi itu diajukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," ujar Jaksa‎ KPK Tito Jaelani yang membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (7/9/2016).

Dari situ, Eddy Sindoro lantas mengutus‎ pegawai PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti Susetyowati‎ untuk menemui Edy Nasution guna menolak permohonan eksekusi lanjutan tersebut. Akan tetapi, karena tidak juga ditindaklanjuti Edy Nasution, Hesti melapor ke Eddy Sindoro.

Hesti lantas meminta Eddy Sindoro membuatkan memo kepada seseorang yang diistilahkan dengan 'promotor'. Promotor itu maksudnya adalah Nurhadi dengan tujuan agar dibantu pengurusan penolakan permohonan eksekusi lanjutan itu.

Kemudian, Edy Nasution mengontak Hesti. Dia menyampaikan permintaan Nurhadi agar disiapkan duit Rp 3 miliar jika ingin pengurusan penolakan eksekusi lanjutannya 'lancar'.

"Terdakwa menyampaikan bahwa dalam rangka pengurusan penolakan atas permohonan eksekusi lanjutan, atas arahan Nurhadi, agar disediakan uang sebesar Rp 3 miliar," kata Jaksa.

Mengetahui ada arahan dari sang 'promotor' soal permintaan duit Rp 3 miliar, Eddy Sindoro meresponnya. Meski begitu, Eddy Sindoro hanya menyanggupi‎ Rp 1 miliar. Hesti selanjutnya menyampaikan ke Edy Nasution lewat telepon.

Dalam percakapan lewat telepon gengam itu, Edy Nasution mengatakan kalau uang Rp 3 miliar yang diminta Nurhadi tersebut untuk keperluan menggelar turnamen tenis se-Indonesia di Bali. Masih dalam percakapan telepon itu, Edy Nasution pun menego Hesty dan menurunkan 'harga' menjadi Rp 2 miliar saja.

"Akhirnya, Eddy Sindoro hanya menyanggupinya dan memberikan uang sebesar Rp 1,5 miliar," kata Jaksa.

Usai kesepakatan uang Rp 1,5 miliar, dalam dakwaan ini juga terungkap kalau Nurhadi tak ‎mau uang dalam bentuk pecahan rupiah. Dia menginginkan uang sebanyak itu dikirim dalam bentuk dollar Singapura.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved