Kejaksaan Agung Menjawab Tudingan Perjualbelikan Status JC
Kejaksaan sendiri berdasarkan penelitian For Detention Studies tercatat sebagai lembaga yang paling banyak mengeluarkan status JC.

Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pekan lalu ICJR merilis jumlah saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum atau disebut justice collaborator (JC).
Menurut penelitinya Erasmus Napitupulu, jumalh JC tersebut mencapai ratusan.
Yang menjadi permasalahan adanya dugaan jual beli status JC yang dekeluarkan penegak hukum.
Lantaran seorang yang menyandang status JC akan mendapatkan kemudahan selama dalam masa tahanan dan dipertimbangkan mendapatkan remisi.
Kejaksaan sendiri berdasarkan penelitian For Detention Studies tercatat sebagai lembaga yang paling banyak mengeluarkan status JC. Dalam kurun 3 tahun sudah 670 status JC dikeluarkan.
Lantas bagaimana tanggapan Kejaksaan mengenai permasalahan tersebut?
Jaksa Muda tindak Pidana Khusus Kejagung, Arminsyah mengatakan terdapat mekanisme pemberian status JC terhadap seseorang yang menyadang saksi pelaku.
Pemberian status JC merupakan bagian dari penghargaan bagi saksi pelaku yang mau terbuka dan bekerja sama dengan penegak hukum.
"Itu kan seseorang yang mau terbuka, tentu kita hormatilah komitmen dia. Itu suatu penghargaan," ujar Arminsyah, Jumat (19/8/2016).
Ia mengatakan pemberian status JC diberikan penegak hukum pada saat proses penyidikan.
Arminsyah membantah jika Kejaksaan memberikan status JC setelah putusan dikeluarkan.
"Saya tekankan bahwa justice collaborator lebih pada penyidikan, kalau remisi sudah menjalani hukuman dan itu urusan LP (Lembaga pemasyarakatan)" katanya.
Sementara Itu Jamintel kejagung, Adi Toegarisman mempertanyakan validitas hasil penelitian jumlah JC yang dikeluarkan. Namun saat ditanya mengenai jumlah JC versi Kejaksaan, Adi enggan mengomentarinya.
"Ini kan hasil penelitian dia ada 600 sekian. Datanya dari mana?," pungkasnya