Kamis, 2 Oktober 2025

Kasus Pelindo II

Politisi PDIP: Potensi Kerugian Negara Rp 30 Triliun

Sukur pun menjelaskan potensi kerugian dan keganjilan dalam kasus Pelindo II.

Penulis: Johnson Simanjuntak
zoom-inlihat foto Politisi PDIP: Potensi Kerugian Negara Rp 30 Triliun
dpr.go.id
Sukur Nababan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politisi PDI Perjuangan menegaskan potensi kerugian negara dalam kasus PT Pelindo II selama R.J Lino memimpin mencapai Rp 30 triliun.

Itu artinya, skandal perpanjangan kontrak Jakarta International Container Terminal (JICT) di awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla jauh lebih dahsyat ketimbang skandal Bank Century yang hanya Rp 6,7 triliun.

Anggota Pansus Pelindo II DPR RI, Sukur Nababan di Jakarta, Senin (23/11/2015), mengatakan, potensi kerugian yang spektakuler itu membuktikan bahwa Direktur Utama PT Pelindo II, R.J Lino melakukan kebohongan besar ketika mengklaim bahwa perusahaan plat itu meraih keuntungan.

Bahkan politisi PDIP itu mengatakan, perpanjangan kontrak JICT yang diberikan Pelindo II kepada HPH (Hutchison Port Holdings), merupakan skandal besar dalam sejarah Indonesia.

"Ini jelas perampokan. Ini skandal yang lebih dahsyat dari kasus Bank Century," tegas Sukur Nababan.

Sukur pun menjelaskan potensi kerugian dan keganjilan dalam kasus Pelindo II. Dikatakan, Pada kontrak I, Pelindo II menetapkan HPH, perusahaan milik Taipan Hong Kong, Li Ka-shing itu, menjadi operator JICT periode 1999-2019.

Dalam kontrak pertama, Pelindo II berhak atas royalti sebesar 15% dari pendapatan. Sementara, HPH berhak atas technical knowhow sebesar 14,08% dikalikan laba setelah dikurangi pajak (laba bersih).

"Saat kontrak pertama, komposisi sahamnya, Pelindo II 48,9 persen, HPH 51 persen dan kopegmar (koperasi pegawai maritim) 0,1 persen," kata Sukur.

Alih-alih menunggu masa kontrak habis, Dirut Pelindo II RJ Lino justru meneken perpanjangan kontrak HPH pada 2014. Padahal, kontraknya baru rampung pada 2019.

Dalam kesepakatan baru yang dibuat Lino itu, Pansus mencurigakan beberapa hal. Pertama, kontrak kedua meniadakan sistem royalti menjadi sewa (rent) untuk Pelindo II senilai US$ 85 juta per tahun.

Kedua, jatah HPH atas technical knowhow 14,08% dari laba bersih dihapus. Ketiga, komposisi andil di JICT bergeser. Di mana Pelindo II berhak atas 51% saham dan HPH 49%.

"Selama ini, RJ Lino bilang sudah berhasil memberikan keuntungan kepada Pelindo II. Kita melihat justru sebaliknya. Malah potensi kerugian lebih besar. Kita hitung adanya potensi kerugian negara dari kontrak kedua mencapai Rp 20 sampai Rp 30 triliun," kata Ketua DPP PDIP Bidang Pemuda dan Olahraga itu.

Langgar UU
Perpanjangan kontrak kedua JICT juga dinilai melanggar beberapa peraturan perundang-undangan. Pertama, melanggar Pasal 344 Ayat 22 UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Dalam beleid ini menyatakan bahwa setiap kerjasama atau kontrak bisnis harus mendapat persetujuan (konsesi) dari otoritas pelabuhan dalam hal ini Kementerian Perhubungan sebagai regulator pelabuhan.

"Tapi R.J Lino selalu bersikeras bahwa perpanjangan ini sepenuhnya wewenang korporasi (Pelindo II). Lino lupa ada UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayanan di mana semua perpanjangan kontrak kerja sama harus minta persetujuan Kemenhub. Celakanya, itu tidak dilakukan RJ Lino," kata Sukur.

Kedua, R.J Lino juga melanggar UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1 Tahun 2004 Perbendaharaan Negara.

"Nah kesalahan ini tentunya mengarah kepada penanggung jawab BUMN yakni Menteri BUMN Rini Soemarno," ujarnya.

Sukur juga menceritakan fakta menarik di balik mengemukanya masalah perpanjangan kontrak JICT. Saat Dahlan Iskan menjabat Menteri BUMN, Dirut Pelindo II R.J Lino pernah menyerahkan permohonan perpanjangan kontrak HPH di JICT.
Sukur pun meminta Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Aria Bima untuk menjelaskannya.

"Tapi Pak Dahlan tidak menanggapi surat permohonan R.J Lino. Karena apa, ya mungkin tidak mau terlibat," kata Aria Bima.

Tak hanya itu, kata mantan Ketua Komisi VI DPR ini, mantan Menteri Perhubungan EE Mangindaan juga pernah melayangkan surat kepada Menteri BUMN Dahlan Iskan terkait adanya perpanjangan kontrak JICT. Intinya, Mangindaan keberatan dengan perpanjangan kontrak tersebut.

Sekarang, kata Aria Bima, Menhub Ignasius Jonan juga menolak dan itu layak diapresiasi. Karena Menhub Jonan berpatokan dengan surat pendahulunya yakni Menhub EE Mangindaan bahwa untuk perpanjangan izin JICT, harus benar-benar dikaji sesuai peraturan UU.

Tetapi, keanehan justru muncul ketika Menteri BUMN Rini Soemarno mengeluarkan izin prinsip perpanjangan kontrak JICT.

"Ini yang menjadi masalah, setelah pemerintahan berganti dan menterinya (BUMN) juga ganti, perkembangannya jadi begini. Kita ingin, Pansus Pelindo II bisa membuka tabir di perpanjangan kontrak JICT,” kata Sukur Nababan.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved