Senin, 29 September 2025

Soal Remisi, Pola Pikir Pemerintah Dinilai Keliru Menyusun RKUHP

Utamanya dalam Pasal 58 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terkait pemberian remisi.

Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Hasanudin Aco
Rahmat Patutie/Tribunnews.com
Julius Ibrani 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Julius Ibrani, ‎Pengacara Publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menilai keliru pola pikir pemerintah dalam menyusun peraturan mengenai remisi narapidana.

Utamanya dalam Pasal 58 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terkait pemberian remisi.

"Saya kira ada sejumlah permasalahan karena kesalahan pemikiran pemerintah dalam pasal tersebut," kata Julius dalam diskusi bertajuk "Penyesuaian Pidana, Remisi Hak Asimilasi dan Pembebasan Bersyarat dalam R KUHP"‎ di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (30/10/2015).

Seperti diketahui, dalam draf RKUHP Pasal 58 mengatur soal dimungkinkan adanya perubahan putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan mengajukan permohonan.

Permohonan tersebut dapat diajukan si narapidana, orangtua narapidana, walinya, penasihat hukum narapidana tersebut, jaksa penuntut umum atau hakim pengawas.

Menurut Julius, terkait pemberian remisi, hak asimilasi dan pembebasan bersyarat sering disebut persoalan HAM.

Itu keliru, kata Julius. Sebab makna HAM sendiri adalah sesuatu yang telah melekat pada diri seseorang sejak lahir.

‎Berbeda dengan remisi, kata Julius, pemberian remisi atau penyesuaian maupun perubahan putusan pidana adalah hak yang melekat kepada narapidana dengan syarat tertentu.

"Jadi pemberian remisi tentu tidak diberikan berdasarkan alasan agama, suku, bahasa, dan ras," kata Julius.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan