Kamis, 2 Oktober 2025

Alumni Mahasiswa Katolik Minta Pembakar Musala Dihukum Setimpal

Taslim meminta aparat penegak hukum mengusut tuntas. Dan mencari para pelaku serta menghukum setimpal dengan perbuatan mereka.

google maps
Lokasi perusakan mushala di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, Jumat (17/7/2015). 

TRIBUNNEWS.COM - Ulah sekelompok orang membakar kios, rumah, dan sebuah mushala serta mengganggu pelaksanaan salat Id di Distrik Kaburaga, Kabupaten Tolikara, Papua, Jumat (17/7/2015) pagi, telah menodai ketenangan dan kedamaian perayaan Idul Fitri 1436 Hijriah.

"Kita dikejutkan oleh peristiwa anarkisme tersebut. Pembakaran tempat ibadah dan rumah-rumah warga di Tolikara, Papua, mencederai bahkan menodai reputasi Indonesia sebagai negara pluralis yang damai," ujar Ketua Forum Komunikasi Alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (Forkoma PMKRI) Hermawi Fransiskus Taslim dalam pernyataan pers yang diterima Tribunews, Sabtu (18/7/2015) pagi.

Bagaimanapun insiden ini, kata Taslim, ikut memberi andil atas wajah buruk reputasi kerukunan umat di Indonesia.

Atas insiden tersebut, Taslim meminta aparat penegak hukum mengusut tuntas. Dan mencari para pelaku serta menghukum setimpal dengan perbuatan mereka.

"Ini pelajaran penting untuk Polri agar tindakan kriminal perusakan dan penodaan agama tidak diberi toleransi sedikit pun. Harus ada tindakan tegas terhadap para pelaku agar peristiwa sejenis tidak terulang," kata Taslim yang berprofesi sebagai advikat di Jakarta.

Kendatipun para pelaku diduga dari kalangan non-muslim yang banyak mendiami Pulau Papua, Taslim mengatakan, Indonesia tidak mengenal konsep mayoritas - minoritas.

"Jadi tidak ada satu pun kelompok masyarakat yang berhak mengklaim sebagai superior atas kelompok lain."

Dalam konteks UUD 45, seluruh rakyat sama kedudukannya di depan hukum (equality before the law) dan negara wajib memberi perlindungan atas penyelenggaraan ibadah masing-masing agama dan kepercayaan.

Inilah komitmen kebangsaan yg telah ditetapkan oleh para pendiri bangsa.

Taslim mengimbau semua lapisan masyarakat untuk terus menjaga dan memelihara kerukunan umat yang pluralis, kemajemukan, karena pluralisme adalah fakta hidup Indonesia.

"Tanpa pluralisme, tidak ada Indonesia," kata Taslim di ujung keterangannya.

Terpisah, Melkior Wara Mas seorang analis, menganggap aksi pembakaran musala di Tolikara, Papua, merupakan isu terkait suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

Dan SARA merupakan realitas sosial yang tidak dapat dielakkan, seolah-olah itu sudah merupakan nasib dari setiap masyarakat di mana pun berada.

Karena SARA merupakan kenyataan sosial, maka keberadaannya tidak dapat dilenyapkan. Bahkan setiap upaya untuk melenyapkan dengan dalih apa pun, termasuk menuju unifikasi masyarakat, cenderung menimbulkan keresahan, gejolak sosial, kerusuhan massa, dan disintegrasi sosial.

Melihat realitas , maka ideologi dan perspektif SARA harus dijungkirbalikkan, yaitu SARA sebagai pemicu perpecahan menjadi SARA sebagai kekuatan untuk pemberdayaan dan demokrasi masyarakat.

"Pembalikan perspektif saja tidak cukup sebab dibutuhkan infrastruktur politik yang memadai, yaitu fasilitator, dinamisator, dan stabilitator kekuatan-kekuatan yang ada dalam institusi SARA," ujar Melkior Wara Mas mantan fungsionaris Pengurus Pusat PMKRI.

Jelas dalam elemen SARA, masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda atau bahkan secara diametral bertabrakan. Pada titik inilah Negara berupaya menjembatani atau mengakomodasi setiap tabrakan kepentingan tersebut, sehingga setiap kebijakan yang ditelurkan selalu mewakili masyarakatnya.

Kemajemukan masyarakat Indonesia tidak hanya dalam cita-cita tetapi terwujud menjadi kenyataan sosial-politik yang didambakan oleh setiap warga memerlukan persyaratan.

Persyaratan berupa pengakuan secara formal dan substansial baik dari pemegang kekuasaan, masyarakat umum, maupun kelompok sosial, politik, dan kebudayaan.

Political will dari pemegang kekuasaan yang tulus dalam meletakan infrastruktur politik yang mengakui pluralisme. Masyarakat dari golongan dan lapisan manapun diberi hak untuk ikut terlibat dalam perdebatan atau diskusi tentang SARA, tanpa harus ada pemaksaan makna dari Negara terhadap masyarakat sipil.

Semua pihak memahami SARA selain menciptakan konflik tetapi juga menjadikan SARA sebagai energy dalam mewujudkan proses demokrasi.

Memahami SARA sebagai energy yang mengandung kekuatan konflik tanpa memperhitungkan SARA sebagai potensi demokrasi. Pluralisme masyarakat Indonesia yang tertuang dalam cita-cita “Bhinneka Tunggal Ika” hanya akan tinggal utopia, sebab yang hadir dalam pentas politik secara riil adalah “Pluralisme yang berbingkai SARA”.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved