Opini
Pilkada Serentak dan Ancaman Kebencian
Jumlah daerah pada tahap pertama mencapai 53 persen dari 537 provinsi dan kabupaten atau kota di seluruh Indonesia.
Mengapa ujaran kebencian perlu dilawan? Karena daya rusaknya tidak hanya terhadap struktur demokrasi, tetapi juga terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Warga dunia melihat dengan ngilu apa yang terjadi dalam perang atau kasus pelanggaran berat seperti Rwanda.
Dalam tragedi yang terakhir, 800.000 warga suku Tutsi dan Hutu moderat dibantai dalam seratus hari. Sebelumnya ujaran-ujaran kebencian diserukan lewat radio Mille Collines. Demi mencegah peristiwa berulang, tahun 1976 PBB mengadopsi larangan ujaran kebencian dalam Pasal 20 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Kovenan ini kita ratifikasi tahun 2005.
Daya rusak
Di era Reformasi, kita juga masih menyaksikan daya rusak ujaran kebencian yang mengakibatkan nyawa melayang, korban fisik, trauma, terusir dari kampung dan hidup sebagai pengungsi. Mereka di antaranya Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Syiah Sampang, kelompok yang dituduh sesat, dan kelompok minoritas.
Menurut Artikel 19, organisasi asal Inggris yang berjuang merawat kebebasan berekspresi, ada empat kata kunci dalam ujaran kebencian: kebencian, diskriminasi, kekerasan, dan permusuhan. Kebencian yang bisa dikategorikan ujaran kebencian adalah ketika berdampak dan mewujud dalam diskriminasi, kekerasan, dan permusuhan.
Contoh paling baik dari praktik ini adalah pernyataan atau tulisan-tulisan di media-media daring yang berusaha menghasut, mengajak perang, membunuh, merendahkan, dan mengancam kelompok tertentu, khususnya minoritas. Bentuk-bentuk pelabelan yang pada dasarnya jahat dan lahir akibat kebencian juga bisa disebut ujaran kebencian.
Umumnya pelabelan dan stigmatisasi dengan kata-kata seperti kafir, antek zionis, musuh umat, Cina, dan Kristen. Kata-kata yang lebih terang dalam ujaran kebencian biasanya diikuti dengan intimidasi dan ancaman: habisi, ganyang, perangi, dan lain-lain.
Merujuk laporan-laporan pemantauan sejumlah lembaga, beberapa daerah rawan merebaknya kasus ujaran kebencian muncul di pilkada beberapa kabupaten di Jawa Barat seperti Sukabumi dan Indramayu; sejumlah kabupaten di DIY; atau beberapa kabupaten di Jawa Timur. Di wilayah-wilayah tersebut, kasus-kasus intoleransi banyak terjadi, termasuk kasus ujaran kebencian selama Pilpres 2014.
Ada sejumlah langkah untuk mengantisipasi ancaman ini. Pertama, meyakinkan para peserta pilkada bahwa penggunaan praktik ujaran kebencian hanya akan meninggalkan problem jangka panjang bagi daerah tersebut. Dalam banyak kasus, cara-cara kotor itu tak membuat mereka menang meski sebagian kasus menunjukkan sebaliknya. Praktik itu justru akan menjadi beban sejarah yang tak ringan dalam masa pemerintahan mereka jika ia betul-betul terpilih.
Kedua, memperkuat pengawasan melalui lembaga-lembaga resmi, seperti badan pengawas pemilu, maupun masyarakat umum, seperti tokoh agama dan tokoh masyarakat. Di sini peran NGO lokal dan nasional juga penting.
Merujuk laporan NGO
Laporan-laporan mereka menjadi rujukan sekaligus fakta sejarah yang menjadi pembelajaran penting bagi Indonesia, bahkan dunia. Penting diingat, tantangan ujaran kebencian bukan hanya masalah Indonesia, melainkan juga dunia.
Ketiga, penegakan hukum (law inforcement). Untuk menimbulkan efek jera, kasus-kasus ujaran kebencian harus diproses hukum secara adil. Ada banyak payung hukum yang bisa dipakai, misalnya Pasal 156 KUHP atau Pasal 86 UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Proses hukum itu tak boleh hanya berani untuk kelompok minoritas, tetapi loyo bagi kaum mayoritas.
Keempat, pengarusutamaan politik toleransi. Dalam jangka panjang, gerakan dan kesadaran mengedepankan politik toleransi harus diperkokoh. Politik yang berkeadaban harus mengedepankan penghargaan atas keragaman agama/keyakinan, bukan penyeragaman. Dengan begitu kita bisa berharap, kelak visi toleransi menjadi salah satu ukuran dan standar penilaian memilih kepala daerah. Gerakan ini bisa dilakukan lewat pendidikan formal dan informal.
Alamsyah M Dja'far
Peneliti The Wahid Institute Jakarta
* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Mei 2015 dengan judul "Pilkada Serentak dan Ancaman Kebencian".