Rabu, 1 Oktober 2025

Opini

Hukum dan Kekuasaan

Sejatinya, drama proses hukum itu merupakan buah pertarungan kepentingan politik kekuasaan.

Editor: Hasanudin Aco

Di Indonesia, penegak hukum sering berperilaku sebagai penguasa daripada hamba hukum. Dengan kasatmata pelanggaran hukum dibiarkan di jalan raya, ironisnya ada yang karena membayar pungutan liar. Sopir angkutan umum yang membayar sejumlah uang kepada kolektor dengan berani melakukan pelanggaran lalu lintas di sepanjang rute yang dilalui dan menjadi salah satu faktor penyebab kemacetan.

Di tengah penegakan hukum yang lemah, hukum bisa tiba-tiba tegak karena subyek hukum tidak memiliki akses kepada kekuasaan. Ketika penguasa memiliki kepentingan, masuklah unsur politis dalam penegakan hukum. Masyarakat pun tidak mudah percaya dengan pernyataan normatif bahwa proses hukum dilakukan secara independen dan profesional.

Ada banyak laporan dari masyarakat, tetapi tidak jelas mengapa yang satu segera ditindaklanjuti dan yang lain dibiarkan. Prioritas proses hukum seharusnya tergantung besar-kecilnya perkara menyangkut kepentingan dan kerugian masyarakat. Apabila itu terjadi, tidak perlu ada pemidanaan untuk Nenek Asyani yang melukai rasa keadilan masyarakat. Itulah realitas buruk administrasi penegakan hukum kita.

Wacana pemberian remisi bagi koruptor adalah langkah mundur lain dalam penanganan kasus korupsi yang tergolong kejahatan luar biasa. Rasa keadilan masyarakat banyak yang paling dirugikan oleh keserakahan koruptor kembali diabaikan. Dalam kemelut dualisme kepemimpinan partai, hukum pun hendak dibelokkan untuk mengamankan stabilitas politik dalam jangka pendek.

Marwah lembaga penegak hukum hendak dibangun berdasarkan politik pencitraan, bukan penegakan hukum internal yang tidak pandang bulu. Citra bersih suatu institusi penegak hukum sejatinya amat ditentukan oleh kesan dan kesimpulan masyarakat yang sehari-hari langsung berurusan dengan institusi tersebut. Buruknya indeks persepsi korupsi untuk Indonesia bukan karena korupsi individual, melainkan korupsi yang melembaga dalam suatu budaya korup.

Apabila hukum dibiarkan berjalan tanpa intervensi yang meluruskan, para pelanggar hukum yang memiliki akses pada kekuasaan akan gembira. Karena itu, rakyat Indonesia memilih presiden dengan harapan terjadi reformasi lembaga penegak hukum. Reformasi tidak sama dengan tindakan heroik sewaktu-waktu. Itu perubahan secara drastis untuk perbaikan politik penegakan hukum.

Reformasi tak akan terjadi tanpa keberanian politik dari pemimpin yang memiliki keutamaan moral. Indonesia tidak membutuhkan pemimpin heroik. Cukup pemimpin biasa dengan keberanian untuk meluruskan politik penegakan hukum yang sedang berjalan mundur.

Yonky Karman
Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

* Artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi Rabu (25/3/2015).

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved