Suryadharma Ali Kritik Penerapan Asas Pembuktian Terbalik
pembuktian terbalik adalah refleksi dari ketidakmampuan negara membuktikan kesalahan atau tindak pidana yang dilakukan seseorang
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembuktian terbalik, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang, menyalahi logika hukum Islam (al bayyinatul ala almudd’ai wal yaminnu ala man Ankara) dan logika hukum pada umumnya.
‘’Bagi saya pembuktian terbalik sebagian besarnya adalah refleksi dari ketidakmampuan negara untuk membuktikan kesalahan atau tindak pidana yang telah dilakukan seseorang," ujar Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali ketika memberikan kuliah umum di hadapan Rektor/Ketua Senat, Dekan Fakultas Hukum dan para civitas akademika FH Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Senin (28/10/2013).
Suryadharma mengatakan, kalau negara tidak mampu, mengapa lalu membebankannya kepada orang lain? Pada kenyataannya, pembebanan ini berlaku retroaktif, sehingga terhadap dugaan pencucian uang atas suatu tindak pidana tertentu, perampasan dilakukan terhadap seluruh kekayaan yang dimiliki, sebelum tindak pidana tertentu itu dilakukan.
Bahkan, dalam hal ini UU juga memberi kesempatan untuk dilakukan penyidikan terhadap dugaan tindakan pencucian uang tanpa membuktikan terlebih dulu ada/tidaknya tindak pidana korupsi awal.
"Jadi, di era reformasi ini, orang baru dicurigai bersalah saja sudah bisa dihukum. Ini yang belum masuk dalam nalar saya sebagai mukallaf (subyek hukum)," kata Suryadharma.
Di bagian lain kuliah umumnya yang berjudul ‘Keadilan dan Hukum Kita’, Ketua Umum PPP itu mengajukan satu pertanyaan, seberapa jauh hukum di Indonesia memainkan perannya untuk menghantarkan bangsanya ke kehidupan yang lebih bahagia dan adil? Ia juga mengritik munculnya berbagai komisi negara yang seperti jamur yang tumbuh di musim hujan serta pembuatan UU.
‘’Saya rasa dua hal itu yang paling menonjol dan muncul ke permukaan pada 15 tahun terakhir ini,’’ katanya.
Surya menyebutkan, jumlah lembaga dan komisi negara sudah melebihi jumlah kementerian dan lembaga pemerintah nondepartemen (LPND). Jumlahnya mencapai 50-an dan itu tertinggi di dunia. Artinya, komisi dan LPND di banyak negara lain, hampir semuanya dapat ditemukan di Indonesia. Demikian juga dengan UU baru yang dibuat pascaOrde baru, jumlahnya terlalu banyak.
‘’Pertanyaannya, apakah itu pertanda Indonesia sedang memasuki modernitas atau kita hanya ikut-ikutan atau latah supaya disebut modern. Kenapa Jepang dan Cina yang lebih maju peradabannya, tidak sesemangat kita memproduksi UU,’’ ujar Suryadharma.