MK Sampai Kapanpun Tidak Akan Mengevaluasi Putusannya
Hakim senior Mahkamah Konstitusi, Harjono, mengatakan tidak mungkin Mahkamah mengevaluasi dan meninjau ulang putusan sengketa
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim senior Mahkamah Konstitusi, Harjono, mengatakan tidak mungkin Mahkamah mengevaluasi dan meninjau ulang putusan sengketa atau Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah.
Harjono mengatakan keterangan palsu dalam persidangan yang diberikan oleh saksi merupakan tanggung jawab saksi dan pihak yang menghadirkan saksi tersebut. Jika memang benar ditemukan adanya saksi palsu, maka hal tersebut menjadi wewenang kepolisian.
"Itu tidak mungkin. Kalau kemudian di dalam prosesnya putusan itu ada diduga ada saksi-saksi palsu, memberi keterangan sehingga Mahkamah Konstitusi sampai pada putusan yang tidak seperti yang mereka harapkan karena ada saksi palsu ya itu proses pidananya aja dilanjutkan. Kalau ada suap ya suapnya dilaporkan. Itu bukan kewenangan MK suap itu," kata Harjono kepada wartawan di ruang kerjanya di MK, Jakarta, Kamis (24/10/2013).
Menurut Harjono, Mahkamah tidak mungkin menghabiskan energi untuk memastikan saksi yang dihadirkan palsu atau tidak. Untuk itu, kata dia, setiap saksi harus disumpah sebelum memberikan kesaksian.
Jika saksi tersebut tidak memberikan kesaksian sebenarnya, lanjut dia, itu kemudian menjadi ranah pidana dan bisa dilaporkan ke kepolisian.
"Dalam bersumpah itu ada kewajiban dia untuk menerangkan yang sebenarnya. Kalau sampai terungkap dia mengatakan yang tidak sebenanrya, memberi keterangan palsu ada persoalan pidanaya. Oleh karena itu Mahkamah sudah sejak dulu mengingatkan bahwa kita punya kerja sama dengan Polri. Terhadap hal-hal yang kemudian timbul di persidangan karena keterangan palsu, ya langsung saja Polri bisa menindaklanjutinya," ujar Alumnus Universitas Airlangga, Surabaya itu.
Lebih jauh dikatakan Harjono, sekali Mahkamah meninjau putusan yang pernah dikeluarkan, itu akan menjadi preseden buruk dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, kata Harjono, sesungguhnya peradilan itu khususnya dalam Pemilukada dimulai sejak awal yaitu di TPS dengan kehadiran saksi-saksi.
"Falsapahnya kenapa putusan itu final dalam pemilihan umum karena kalau itu dibuka dibuka dan dibuka, terjadi ketidakpastian," kata dia.
Lebih lanjut dijelaskan Haryono, pihak pemenang sengketa Pemilukada yang menang karena keterangan palsu dijerat dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
"Kalau terbukti yang melakukan suap itu adalah yang terpilih tentu kan ada mekanismenya. Secara resmi ya melalui ketentuan UU 32 saja," ujar dia.