TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengatakan dalam kurun waktu 1,5 tahun terakhir peserta transmigrasi korban penggusuran perusahaan perkebunan semakin bertambah. Setiap hari, lebih dari satu petani ditangkap akibat mempertahankan tanah mereka.
"Mereka dikriminalisasi kemudian digusur," ujar Zenzi Suhadi, pengkampanye hutan dan perkebunan skala besar WALHI kepada Tribunnews di kantornya, Jakarta, Jumat (20/9/2013).
Zeni mengatakan pemerintah terlebih dahulu mengirim masyarakat untuk transmigrasi di hutan-hutan. Setelah itu masyarakat dituntut harus bisa mandiri dengan membuka lahan dan membuat pemukiman.
Perkebunan kemudian masuk ke hutan yang telah menjadi kebun tersebut dengan dalih Hak Guna Usaha (HGU) atau sejenis hak penguasaan hutan.
Pemerintah, sebenarnya memberikan tiga jenis tanah kepada masyarakat. Yakni tanah garapan, tanah cadangan, dan tanah pemukiman. Menurut Zenzi hanya tanah pemukiman yang saat ini belum digusur oleh perusahaan perkebunan.
Modus lainnya, perkebunan bekerja sama dengan kepala desa untuk mengumpulkan sertifat tanah warga. Kepala desa itu kemudian memberikan sertifikat tanah ke perkebunan sehingga masyarakat tidak memiliki bukti atas kepemilikan lahan.
Berdasarkan data yang dihimpun WALHI, pergeseran dan penguasaan tanah dalam 10 tahun terakhir rata-rata 5,6 juta hektar per tahun. Sejak tahun 2004 sampai tahun 2012 tercatat 56 juta hektar hutan Indonesia bergeser kekuasannya dari rakyat dan negara ke pengusaha perkebunan sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), HPH, dan Tambang.
Sementara korban yang sudah melapor ke WALHI berasal dari Desa Nusantara Sumatera Selatan, Rawa Indah dan Ketahun di Bengkulu, Biru Maju dan Kumai di Kalimantan Tengah, dan Sajeung Helang di Kalimantan Selatan.