BK DPR Diminta Obyektif
Badan Kehormatan (BK) DPR diminta obyektif dalam memproses anggota Dewan yang diduga melanggar kode etik atau tata tertib DPR, dan jangan
Penulis:
Hasanudin Aco
Editor:
Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Badan Kehormatan (BK) DPR diminta obyektif dalam memproses anggota Dewan yang diduga melanggar kode etik atau tata tertib DPR, dan jangan sampai tebang pilih.
“Obyektif itu sesuai fakta, tidak kurang dan tidak lebih,” ungkap anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Aria Bima di Jakarta, Rabu (3/4/2013) petang.
Aria Bima yang juga Wakil Ketua Komisi VI DPR itu diminta komentar soal pernyataan anggota BK DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) Ali Machsan Moesa bahwa pihaknya akan menggelar rapat untuk menentukan sanksi bagi Sukur Nababan, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, yang beberapa kali tidak menghadiri sidang paripurna.
Sukur pernah diklarifikasi BK pada 5 Februari 2013. Aria Bima menyambut baik bila BK segera bersidang untuk memutuskan apakah Sukur terbukti melanggar kode etik dan tata tertib atau tidak. Dengan itu, akan ada kepastian bagi yang bersangkutan. Hanya saja, ia mengimbau agar BK bersikap obyektif dalam mengambil keputusan, jangan sampai ada diskriminasi atau like and dislike.
Terkait Sukur Nababan, tanpa bermaksud membela rekan sefraksinya itu, Aria Bima mengaku bahwa ketidakhadiran Sukur dalam sejumlah rapat paripurna karena yang bersangkutan sakit.
“Bahkan Mbak Puan (Ketua Fraksi PDI Perjuangan Puan Maharani, red) yang memerintahkan langsung agar Sukur berobat ke Singapura. Waktu itu saya, Prof Hendrawan Supratikno, Erico Sotarduga, dan Daniel Tobing yang menyaksikan Mbak Puan memerintahkan langsung agar Sukur berobat ke Singapura,” katanya.
Sebagai pimpinan komisi sekaligus Ketua Poksi VI, kata Bima, justru menjadi kewajiban dirinya untuk ikut menegakkan disiplin anggotanya, sehingga ia tidak mudah memberikan izin bagi anggotanya untuk tidak mengikuti rapat-rapat di DPR.
Aria juga mengaku dirinya tidak mungkin mempertaruhkan reputasinya hanya untuk membela Sukur bila memang ia bersalah.
“Nyatanya dia sakit, saya sebut stroke ringan, karena mukanya itu ‘merot’ (mengkerut, tidak simetris). Dalam sebuah acara di Istora Senayan kami melihat kondisi dia, saat itu juga Mbak Puan memerintahkannya berobat ke Singapura,” jelasnya.
Apalagi, lanjut Bima, Sukur juga telah mengajukan izin ke fraksi untuk tidak mengikuti rapat-rapat di DPR karena sedang berobat, mulai 1 Juli 2012 hingga enam bulan ke depan. “Bahwa izin itu tidak sampai ke Sekretariat Jenderal DPR, itu kesalahan stafnya, dan itu kesalahan administratif, bukan pelanggaran etika atau tata tertib,” tegasnya.
Sementara itu, Sukur Nababan mengaku no comment karena mau cooling down. Hanya saja, melalui stafnya, ia memperlihatkan surat keterangan dari Yeo Neurology and Clinical Neurophysiology, Singapura, yang menerangkan bahwa Sukur menjalani pengobatan di klinik itu sejak Juli 2012 hingga Februari 2013. Surat tertanggal 7 Februari 2013 itu ditandatangani DR Yeo Poh Teck.
Dihubungi terpisah, Rabu (3/4/2013) petang, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menyambut baik langkah BK memutuskan sanksi bagi anggotanya yang tidak rajin mengikuti sidang, karena nyatanya tingkat kehadiran mereka dalam rapat-rapat sangat rendah.
Hanya saja, ia mengingatkan jangan sampai dugaan-dugaan pelanggaran etika berat bahkan mengarah pada korupsi diabaikan, semisal kasus percaloan anggaran bantuan sosial yang hanya berhenti pada Tenaga Ahli dua anggota Dewan yang dituduh terlibat.