Kamis, 2 Oktober 2025

Kongres Luar Biasa Demokrat

SBY Ketua Umum Demokrat Negara Lima Kali Kalah

Penetapan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Umum Partai Demokrat lewat menunjukkan fenomena baru

Penulis: Y Gustaman
Editor: Widiyabuana Slay
zoom-inlihat foto SBY Ketua Umum Demokrat Negara Lima Kali Kalah
AFP/ADEK BERRY
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) berjabat tangan dengan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto di Istana Negara, Senin (11/3/2013). Prabowo bertemu SBY guna membahas berbagai permasalahan bangsa dan solusinya antara lain bidang ekonomi, politik, hukum. AFP PHOTO / ADEK BERRY

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Penetapan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Umum Partai Demokrat menunjukkan fenomena baru, Kongres Luar Biasa telah mengalahkkan negara sampai lima kali. Sebagai kepala negara, SBY pernah berucap, "Negara tidak boleh kalah!"

Pengamat politik Lima Ray Rangkuti menilai semboyan itu hebat diucapkan tapi pahit dalam kenyataan. Bukan karena negara kalah dari koruptor, kalah hadapi sikap intoleran, kalah hadapi premanisme bersenjata, tapi kini negara kalah dari tindakan dan pilihan presiden sendiri.

Pertama, negara kalah karena pertama kalinya dalam sejarah partai politik di era reformasi, seluruh jabatan dalam struktur partai politik diketuai seorang individu. SBY adalah Ketua Majelis Tinggi Demokrat, sekaligus Ketua Dewan Pembina Demokrat, Komisi Pengawas Demmokrat.

"Prinsip negara agar partai dikelola secara partisipastif dan bagian pendidikan politik rakyat hilang musnah dengan praktek ini. Struktur ini mengaburkan pertanggunjawaban dan fungsi tiap struktur partai secara internal," ujar Ray kepada Tribunnews.com di Jakarta, Minggu (31/3/2013).

Kenyataan ini berarti menumpuk kekuasaan di tangan satu orang dan ini melecehkan prinsip demokrasi yang pada hakekatnya menginginkan kekuasaan terdistribusi agar saling koreksi dan seimbang. Uniknya, model seperti ini malah melanggar AD/ART Demokrat sendiri.

Seperti disebutkan dalam pasal 13 ayat (3) bahwa wakil ketua Majlis Tinggi dijabat oleh ketua partai. Dengan begitu, SBY bukan hanya sebagai ketua mejalis tinggi, beliaupun sekaligus menjadi wakil ketua Majelis Tinggi Demokrat. Struktur partai model apakah ini? Ketua dan Wakil Ketua adalah dirinya sendiri.

Kedua, negara kalah karena partisipasi dan kaderisasi akan mandeg. Salah satu prinsip pembentukan partai politik adalah mengelola partisipasi masyarakat menuju cita-cita bersama dan menjadi alat bagi rekrutmen kepemimpinan. Dua prinsip ini dikalahkan secara tragis di dalam KLB PD.

"Kekuasaan yang menumpuk di tangan SBY membunuh lahirnya partisipasi sekalligus kaderisasi yang baik di dalam tubuh internal partai. Suasana ini memacetkan sirkulasi kekuasaan dari satu tangan ke banyak tangan," terang Ray.

Ketiga, negara kalah karena pada akhirnya presiden dan banyak anggota kabinet mereka mewakili kepentingan partai. Eksistensi Partai seolah menjadi lebih penting dari pada eksistensi negara. Banyak jargon dipakai melegalisasi SBY sebagai ketum menunjukkan penyelematan partai jauh lebih utama dari penyelamatan negara.

Harus diingat, banyak berbagai persoalan kebangsaan yang nampaknya makin akut. Harga bawang dan cabai yang melambung, pelambatan kinerja ekonomi, kekerasan komunal, ancaman terhadap dunia pers, bahkan bentrokan antaraparat negara menguat.

"Pernyataan SBY yang menyebut membiarkan dirinya dikritik dan diserang daripada Demokrat tambah susah dan menghadapi masalah semakin mengukuhkan kepentingan mengurus Demokrat jauh lebih utama dari pada mengurus bangsa dan negara," tukas Ray.

Kritik masyarakat dalam kasus ini berkenan dengan tuntutan agar SBY lebih fokus mengurus negara dari pada mengurus partai sesuatu yang ideal. Faktanya SBY mengabaikan kritik subtantif rakyat dan pilih mengurus partai, sekali pun dengan struktur yang compang camping.

Keempat, negara kalah karena anak-anak muda kritis dalam budaya demokrasi, bahkan ikut berjuang menjatuhkan Orde Baru salah satunya agar praktek nepotisme politik dihapuskan, sama sekali diam melihat fakta pilihan tidak demokratis dan mengarah ke nepotisme politik.

Bila anak mudanya tak berani bersuara dan menolak praktek pelecehan etika, rasionalitas dan prinsip pengelolaan negara dan partai secara demokratis atau mungkin mendukungnya demi kebaikan partai, saat itu negara telah kalah.

Kelima, negara kalah karena kata-kata ideal dalam mengelola bangsa dan negara justru dibajak untuk melegalisasi praktek keculasan dalam berpolitik. Kata-kata seperti, santun, demi menjaga keutuhan dan kebaikan partai, akhirnya menjadi jargon yang prakteknya berbeda dengan seluruh jargon-jargon ideal itu.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved