Sabtu, 4 Oktober 2025

Kuasa Hukum Hartati: Jaksa Manipulasi Fakta dalam Dakwaan

“Penuntut umum juga telah memanipulasi fakta seakan-akan dirinya bertanggungjawab atas perbuatan,” kata Patra M Zen

zoom-inlihat foto Kuasa Hukum Hartati: Jaksa Manipulasi Fakta dalam Dakwaan
Warta Kota/Henry Lopulalan
Terdakwa kasus suap Buol Hartati Murdaya menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (14/1/2013). Hartati dituntut hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan. (Warta Kota/Henry Lopulalan)

TRIBUNNEWS.COM.JAKARTA - Pengusaha Hartati Murdaya menegaskan, penuntut umum secara sadar telah memanipulasi fakta dalam surat dakwaan dan surat tuntutan, seolah-olah dirinya secara bersama-sama telah melakukan perbuatan yang didakwakan.

“Penuntut umum juga telah memanipulasi fakta seakan-akan dirinya bertanggungjawab atas perbuatan,” kata Patra M Zen dari tim kuasa hukum Hartati saat membacakan pledoidaam siding di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/1).

Disebutkan oleh kuasa hukum, tidak ada satu pun alat bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum untuk membuktikan bahwa terdakwa mengetahui, mengizinkan apalagi memerintahkan pemberian uang Rp 2 miliar untuk Amran Abdulah Batalipu. Rekaman percakapan yang diperdengarkan dipersidangan bertujuan untuk ‘memperdaya’ masyarakat agar dibuat percaya bahwa terdakwa bersalah.

Dalam dakwaannya, Penuntut Umum menyatakan bahwa pada pertemuan di lobby hotel Grand Hyatt pada 11 Juni 2012, Hartati menyatakan telah menyetujui pemberian uang kepada Amran.

“Namun dalam pemeriksaan di persidangan, dakwaan Penuntut Umum tersebut tidak benar dan tidak terbukti. Tidak pernah Terdakwa menyetujui pemberian uang Rp 3 Milyar kepada Amran Abdulah Batalipu, dan tidak ada satu pun alat bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum perihal rencana penyerahan uang Rp 1 miliar,” kata Patra M Zen di depan majelis hakimi.

Dengan demikian, lanjut Patra, Penuntut Umum secara sadar telah memanipulasi fakta dalam surat dakwaan dan surat tuntutan, seolah-olah terdakwa secara bersama-sama telah melakukan perbuatan yang didakwakan.

Dikatakan, penuntut umum juga telah memanipulasi fakta seakan-akan terdakwa bertanggungjawab atas perbuatan berlanjut sebagaimana diatur dalam Pasal 64 KUHP yakni bertanggungjawab atas pemberian uang Rp 1 miliar pada 18 Juni 2012 dan bertanggungjawab atas pemberian uang Rp 2 miliar pada 26 Juni 2012.

Dijelaskan, rekaman percakapan yang diperdengarkan di persidangan bertujuan untuk “memperdaya” masyarakat agar dibuat percaya bahwa terdakwa bersalah. Padahal, rekaman percakapan tanpa didukung persesuaian dengan keterangan saksi, surat, dan terdakwa bukanlan alat bukti.

Di persidangan, saksi Totok Lestiyo menyatakan bahwa pemberian uang Rp 2 miliar litu atas inisiatif pribadinya, yang diambil dari keuangan perusahaan untuk diberikan kepada Amran Abdulah Batalipu guna bantuan kampanye pemilihan kepala daerah.

Keterangan saksi Totok Lestiyo ini didukung oleh keterangan Arim yang mendapat perintah Totok Lestiyo, juga didukung keterangan Gondo Sudjono Notohadisusilo yang mendapat perintah dari Totok Lestiyo untuk berangkat ke Buol, menyerahkan uang keAmran.

Adapun mengenai pemberian Rp 1 miliar, dalam persidangan terungkap bahwa Hartati menyuruh Arim untuk membagikan uang Rp 1 milar kepada masyarakat dan para pendemo yang telah mengganggu keamanan perusahaan dan perkebunan di Buol.

Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa di persidangan, bahwa 2 (dua) kali perusahaan mengalami gangguan keamanan yakni di bulan Desember 2011 dan Mei 2012 yang mengakibatkan perusahaan menelan kerugian puluhan milyar rupiah.

Namun perintah pemberian bantuan CSR ini disimpangkan dan disalahgunakan oleh Totok Lestiyo dan Arim sebagai bantuan Pemilukada.

Permintaan Bupati

Sementara dalam pledoi pribadinya, Hartati menjelaskan, PT HIP sebagai satu-satunya perusahaan besar di Buol telah menjadi tumpuan harapan untuk memperoleh dana-dana yang dibutuhkan Amran Batalipu untuk sumbangan pemilu kada dimana dia mencalonkan kembali.

Sejak 2011, Amran menyampaikan permintaandana itu kepada Totok Lestiyo, Direktur dari PT. HIP dan kemudian juga disampaikan kepada Sdr. Arim secara terus menerus.

Jika permintaan itu tidak disetujui, maka Pabrik dan Kebun PT HIP diganggu keamanannya oleh para pendukung Amran.

“Pada Bulan April 2012 kembali Bupati Amran memaksa untuk ketemu saya dengan diantar oleh Sdr.Totok Lestiyo di PRJ. Oleh karena saat itu saya tidak melayani pembicaran tentang sumbangan Pilkada, bahkan sebaliknya saya memprotes keras atas gangguan keamanan dan tindakan Bupati Amran memberikan sebahagian lahan PT HIP kepada PT Sonokeling Buana, maka telah membuat Bupati Amran tidak senang hati,” ujar Hartati.

Selanjutnya pada Mei 2012 terjadi lagi gangguan keamanan yang lebih dahsyat. Yaitu datangnya bertruk-truk oknum pendukung Amran Batalipu yang bekerja sama dengan oknum Karyawan PT HIP yang sudah di PHK namun masih tidak mau pergi dari lahan HIP.

Selanjutnya diawal bulan Juni 2012 Bupati Amran datang lagi meminta ketemu saya, yang akhirnya terjadi pertemuan singkat di lobby Hotel Grand Hyatt dalam kondisi berdiri sambil omong-omong sekitar 15 menit. Inti pembicaraan di Lobby hotel Grand Hyatt ialah adanya permintaan sumbangan Pilkada Buol sebesar Rp 3 miliar dari Amran Batalipu.

“Saat itu jantung saya berdebar-debar, karena merasa trauma atas kejadian pendudukan pabrik CPO dan blokade angkutan sawit dari kebun yang ruginya puluhan miliar. Maka bentuk penolakan saya terpaksa dilakukan secara halus dan berputar-putar karena terpaksa cara inilah merupakan pilihan satu satunya untuk dapat terhindar dari memberikan sumbangan Pilkada Rp 3 Miliar tersebut,” tutur Hartati.

Berdasarkan fakjta-fakta persidangan itulah, Hartati dan Tim Penasihat Hukum memohon kepada Mejelis Hakim agar menjatuhkan putusan yang adil.

Majelis hakim dimohon menyatakan Terdakwa Siti Hartati Murdaya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang  didakwakan.  Sehingga membebaskan Terdakwa Siti Hartati Murdaya dari seluruh dakwaan,” ujar Patra.

“Apabila Majelis Hakim Yang Mulia berpendapat lain mohon hukuman yang seadil-adilnya dan seringan-ringannya” demikian disebutkan dalam pleidoi Hartati.

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved