Sidang Hartati Murdaya
Saksi: Pemberian Uang karena Punya Kewenangan Bukan Suap
Pemberian uang dari seseorang kepada pejabat negara lantaran pengaruh kewenangan yang dimiliki pejabat tersebut tidak

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemberian uang dari seseorang kepada pejabat negara lantaran pengaruh kewenangan yang dimiliki pejabat tersebut tidak bisa disebut sebagai suap.
Demikian dikatakan Dr Eva Aryani Zulva dalam sidang perkara korupsi pengurusan izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Buol dengan terdakwa Siti Hartati Murdaya, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (3/1/2013).
Eva Aryani dihadirkan sebagai saksi/ahli meringankan (a de charge) untuk terdakwa.
"Soal tindak pidana suap itu, dalam UU Pemberantasan Tipikor dirumuskan dengan sangat spesifik. Kalau disebut suap, maka harus ada dua pihak yang terlibat. Si pemberi maupun si penerima harus tahu tujuan pemberian itu," kata Pakar Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu saat ditanya anggota tim penasihat hukum Hartati, Denny Kailimang.
Menurut Eva, dalam kasus suap harus ada alat bukti yang mengarah pada kerja sama antara dua pihak dan ada pengetahuan dan kesadaran kedua pihak tentang perbuatan yang dilakukan.
Namun, jika alat itu hanya petunjuk-petunjuk yang kemudian dirangkaikan untuk menghubungkan seseorang terkait dengan perbuatan tersebut, maka itu tidak bisa digambarkan sebagai satu urutan, tetapi harus bisa menguatkan alat bukti lain yang dipakai.
Intinya, sambung dia, petunjuk-petunjuk yang dirangkaikan itu dinilai sebagai satu kesatuan alat bukti.
"Jadi pengertian minimal ada dua alat bukti untuk menetapkan seseorang melakukan suatu tindak pidana tersebut, tidak bisa diartikan dengan 1+1 = 2," ujarnya.
Kendati begitu, jika si pemberi dalam posisi dipengaruhi yang membuatnya harus melakukan pemberian itu, maka itu harus dilihat secara teliti.
"Kalau ada suatu kasus, misalnya, ada pejabat yang meminta uang kepada seorang pengusaha, berkali-kali dia meminta, sampai 5 kali, 7 kali, bagaimana statusnya? Harus dilihat dari mana inisiatifnya. Kalau inisiatifnya dari pejabat itu, dan dengan kewenangannya dia bisa menggerakkan orang, dalam arti membuat orang lain dalam keterpaksaan, maka si pemberi tidak bisa dikenakan unsur tindak pidana seperti dalam Pasal 5 UU Tipikor," jelasnya.
Lebih rinci ia menjelaskan, suatu tindakan bisa disebut sebagai tindak suap jika inisiatif dan niatan itu datang dari kedua pihak. Kedua pihak sama-sama mencari dan mendapat keuntungan dari perbuatan itu.
Lebih lanjut dijelaskan, pengaruh lingkungan, termasuk kewenangan yang dimiliki seseorang untuk memengaruhi orang lain, bisa dikatagorikan sebagai bentuk tekanan.
"Ketika ditanya apakah bisa disebut bahwa 'raja-raja' kecil di daerah itu termasuk orang yang memiliki kewenangan yang bisa menekan itu, ketika mereka meminta uang kepada pengusaha?" tanya penasihat hukum.
"Harus ada hubungan kasualitas antara pejabat yang disebut 'raja kecil' itu dengan pengusahayang dimintai uang. Pejabat pastinya memiliki kewenangan dan kemungkinan untuk memberi tekanan. Kalau pengusaha dalam kondisi tertekan, baik secara fisik maupun psikis, maka dia jelas menjadi korban. Jadi dalam kondisi seperti ini, si pemberi adalah korban sehingga bukan pelaku tindak pidana (suap)," jawab Eva.