Kamis, 2 Oktober 2025

Hartati Murdaya Tersangka

Saksi Ahli: Hartati Cs Korban Pemerasan

“Kalau orang itu dimintai, maka bisa disebut korban,” kata Syafrudin di depan majelis hakim yang diketuai oleh Guzrizal SH

zoom-inlihat foto Saksi Ahli: Hartati Cs Korban Pemerasan
TRIBUNNEWS.COM/HERUDIN
Mantan Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Siti Hartati Murdaya (tengah), menjalani pemeriksaan lanjutan di kantor KPK Jakarta Selatan, Jumat (28/9/2012). Hartati diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyuapan Bupati Buol, Amran Batalipu, dalam rangka memperoleh hak guna usaha (HGU) lahan perkebunan seluas 4.500 hektare. TRIBUNNEWS/HERUDIN

TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA- Saksi ahli dalam sidang kasus Buol di Pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta mengindikasikan bahwa PT Hardaya Inti Plantation (HIP) berada dalam keadaan tertekan ketika Bupati Buol Amran Batalipu meminta sejumlah uang dari perusahaan tersebut.

Karena pemberian uang dalam situasi tertekan maka Dirut HIP Hartati Murdaya dan jajarannya dalam posisi sebagai korban pemerasan.

Sidang kasus Buol, Kamis (11/10/2012) dengan terdakwa pegawai HIP Gondo Sudjono dan Yani Ansori, menghadirkan tiga orang saksi ahli. Yakni pakar hukum pidana Universitas Sumatera Utara, Prof Syafruddin Kalo, guru besar emeritus Pascasarjana Universitas Indonesia Prof Benyamin Husein, dan ahli psikologi Universitas Pancasila, Dr Silverius Yoseph Soeharso.

Profesor Syafrudin Kalo mengatakan kasus Buol bisa dikategorikan sebagai kasus pemerasan. Orang yang dimintai uang adalah sebagai korban pemerasan.

“Kalau orang itu dimintai, maka bisa disebut korban,” kata Syafrudin di depan majelis hakim yang diketuai oleh Guzrizal SH, Kamis (11/10/2012).

Dia menjelaskan pemberian uang kepada seorang bupati seperti dalam kasus Buol itu bisa dimungkinkan sebagai pemerasan, karena ada dua sebab yakni adanya tekanan fisik dan adanya tekanan psikologis.

“Itu harus dilihat situasi di lapangan, dan ini memang butuh pembuktian, harus dilihat cara memberinya bagaimana,” katanya.

Menurut Syafruddin Kalo, ada alasan-alasan seseorang dihapuskan dari hukuman pidana. Yakni, jika ditemukan alasan yang dapat menghilangkan perbuatan unsur-unsur kesalahan atau sifat melawan hukum dari sifat yang bersangkutan.

“Kalau ini bisa dibuktikan, orang itu harus dibebaskan dari hukuman,” jelasnya.

Di tempat yang sama Guru Besar Emeritus Pascasarjana UI Benyamin Husein mengatakan, otonomi daerah telah memberikan kewenangan kepala daerah yang sangat besar. Namun, kewenangan itu ada batasannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 Tentang Pemerintah Daerah.

“Intinya pejabat daerah dilarang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, dilarang menerima sesuatu berkaitan dengan jabatannya. Menerima saja dilarang, kalau seorang bupati meminta uang, itu bisa dikategorikan perbuatan sewenang-wenang,” ujarnya.

Pakar Psikologi Universitas Pancasila, Silverius Yoseph Soeharso menerangkan dari sisi psikologis mengapa seseorang melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu. “Perbuatan seseorang itu kombinasi antara kepribadian dan rangsangan dari lingkungan,” jelasnya.

Apakah kasus permintaan uang oleh Bupati Buol bisa dikategorikan pemerasan karena adanya tekanan? Silverius menjawab, “Saya tidak mau masuk ke ranah kasus. Itu tergantung dari kepribadian orangnya. Kalau dia lemah maka pengaruh lingkungan akan kuat, bisa saja dia mengakomodir permintaan itu,” tegasnya.

Sesuai dengan terori psikologi, dalam kondisi tertekan secara psikologis bisa saja seseorang itu mengakomodir (permintaan) itu, dan bisa saja seseorang itu menghindar atau bahkan balik melawan pihak yang menekan, tergantung dari kepribadian masing-masing.

Silverius juga menjelaskan, bahwa dalam kacamata psikologis, Bupati adalah bentuk kekuasaan legal. Faktor itu bisa memberikan tekanan kepada seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Halaman
12
Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved