RUU Keistimewaan Yogyakarta
Sembilan Sikap Sultan Soal RUUK DIY
Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X melakukan rapat dengan Komisi II DPR soal RUUK DIY. Dalam kesempatan itu Sultan
Pertama, Sultan mempersoalkan judul RUU tentang Keistimewaan Provinsi DIY. Judul tersebut tidak tepat apabila merunut berbagai pertimbangan yang telah diuraikan dimuka, disamping tidak merujuk original intent bunyi pasal 18 B ayat 1.
Hal itu juga tidak sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang pembentukan DIY yang secara eksplisit menyebutkan 'setingkat provinsi' yang dapat diartikan tidak sama dengan provinsi, sekaligus sebagai pembeda dengan daerah lainnya yang diberlakukan ketentuan hukum yang bersifat umum.
"Lebih tepat judulnya, RUU tentang Daerah Istimewa Yogyakarta atau Keistimewaan Daerah Yogyakarta, tidak menggunakan kata provinsi," ujar Sultan saat rapat dengan Komisi II DPR, di gedung DPR, Jakarta, Selasa (1/3/2011).
Sultan menjelaskan bahwa dalam konsideran menimbang tidak dicantumkan filsafat Pancasila, yang semestinya menjiwai seluruh produk perundang-undangan. Undang-undang tanpa didasari Pancasila akan menjadi ancaman serius mengarah ke liberalisasi.
"Untuk RUU DIY ruhnya ada di sila keempat Pancasila," jelasnya.
Ketiga, Sultan melihat penggunaan nomenklatur Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama dalam Pasal 1 ayat 8 dan pasal 8 ayat 2, bertentangan dengan UUD 1945 pasal 18 ayat 4. Sebab menurut UUD 1945 kepada pemerintahan daerah provinsi adalah gubernur.
"Keberadaan konsep tersebut akan ada dualisme pemerintahan,dan melanggar prinsip negara hukum pasal 1 ayat 3 jo Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945." jelasnya.
Konsep gubernur utama juga dipandang Sultan sama saja mempersempit kekuasaannya. Tidak hanya itu, manakala ada pihak-pihak yang melakukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi dan dikabulkan maka saat bersamaan keistimewaan DIY akan hilang.
Kelima, lanjut Sultan, pasal 1 angka 14 perihal Perda DIY sebagai sesuai yang bukan menjadi ciri asli keistimewaan DIY, melainkan lebih meniru model Konun di Provinsi NAD dan MRP di Papua, disamping untuk kepentingan mewadahi peran dan fungsi Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama.
"Lebih tepat diatur saja dengan Perda biasa sebagaimana yang telah berjalan selama ini, karena Raja telah menjelma menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur," jelas Sultan.
Tidak hanya itu, Sultan mengkritisi isi pada Bab II Batas Pembagian Wilayah. Pasal 2 ayat 1 huruf b disebutkan bahwa ebelah timur dengan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, padahal secara riil berbatasan juga dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Wonogiri.
Ketujuh, Sultan juga melihat persoalan pertanahan dan Penataan Ruang, sesuai bunyi pasal 26 ayat 1 RUUK DIY. Bunyi pasal dikatakan, "Kasultanan dan Pakualaman ditetapkan sebagai Badan Hukum".
"Bunyi pasal itu tidak sinkron dengan bunyi penjelasannya yang menyebutkan sebagai Badan Hukum kebudayaan. Kami khawatir jangan-jangan naskah akademiknya sama dengan sebelumnya, yang berubah hanya RUUnya," tegas Sultan.
Apabila benar, maka keutugan latar belakang sebagaimana dimaksud di dalam naskah akademik dengan keinginan pengaturannya(RUU) menjadi tidak sinkron.
Berikutnya, kalau Kasultanan dan Kadipaten ditetapkan sebagai Badan Hukum, pertanyaannya, sebagai Badan Hukum privat atau publik?lalu bagaimana dengan tanah-tanah yang selama ini dikelola oleh masyarakat dan dilepaskan kepada pihak lain, apakah kemudian harus dibatalkan?