Lestari Moerdijat: Cegah Penyebaran Hoaks Demi Proses Pembangunan yang Lebih Demokratis
Menurut Lestari, indikasi maraknya hoaks jelang pemilu harus dihadapi dengan serius oleh para pemangku kebijakan dan masyarakat di negeri ini.
Pada langkah korektif, tambah Usman, pihaknya memakai teknologi AI untuk menjaring konten-konten negatif di media sosial. Selain itu juga patroli siber untuk mengawasi media sosial 24 jam untuk mengidentifikasi hoaks.
Sedangkan pada mekanisme represif, tambah Usman, melibatkan para praktisi hukum untuk menyikapi konten-konten hoaks yang ditemukan.
"Perlu kolaborasi semua pihak untuk perang besar melawan hoaks politik sehingga kita bisa menjaga kualitas demokrasi kita," ujar Usman.
Pakar Komunikasi Politik dan Dosen Komunikasi Universitas Airlangga, Suko Widodo berpendapat hoaks saat ini tidak lagi diutarakan dengan kata-kata yang bisa ditengarai dengan jelas, tetapi kerap dengan kata-kata halus tetapi mendalam.
Suko mendorong agar pemerintah mengoptimalkan pemberantasan hoaks dengan cara-cara melibatkan masyarakat, terutama generasi muda.
Karena, menurut Suko, para pembuat hoaks itu terkoordinir. Sehingga tidak cukup dengan mengungkap fakta bahwa konten itu adalah hoaks, tetapi juga harus konsisten memproduksi konten-konten anti-hoaks.
"Kampanye besar-besaran untuk melawan hoaks secara masif harus dilakukan, sehingga masyarakat menjadi kritis terhadap setiap informasi yang diterimanya," ujar Suko.
Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengungkapkan ada sejumlah bentuk gangguan hak para pemilih dalam proses pemilu antara lain dalam bentuk diskriminasi dalam regulasi, intimidasi dan penolakan hak pilih, serta pengacauan informasi pemilu.
Menurut Titi, pemilu yang demokratis tidak bisa diwujudkan bila pemilih tidak bisa memahami atas pilihan-pilihan yang dibuat, karena sejumlah gangguan terhadap hak pilihnya.
Titi menilai, hoaks politik merupakan kampanye jahat. Hoaks yang menyasar para pemilih dalam proses pemilu bisa berdampak ke banyak sektor, sehingga bisa merugikan negara.
Dalam kasus diskriminasi regulasi pada para pemilih, jelas Titi, bisa berdampak pemilihan ulang akibat terjadi inkonsistensi dalam penerapan aturan, yang mengakibatkan munculnya kerugian negara.
Pada kesempatan itu, Titi mengungkapkan sejumlah tantangan yang akan dihadapi pada penyelenggaraan Pemilu 2024, antara lain yaitu masa kampanye yang hanya 75 hari, belum ada regulasi untuk menyikapi disinformasi yang terjadi, dan netralitas aparat penegak hukum.
Karena itu, tegas dia, dibutuhkan penyelenggara pemilu yang kredibel, mandiri dan terbuka, sehingga mampu memproduksi aturan teknis yang jelas agar mampu menekan dampak disinformasi yang terjadi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Dhyatmika berpendapat dalam upaya mencegah dan mengatasi penyebaran hoaks seringkali pemerintah hanya melakukan single action dan single post.
Dalam mengatasi hoaks, Wahyu mendorong agar pemerintah juga melakukan pendekatan pada sisi narasi dan jaringan sebaran hoaks agar lebih efektif. Dia juga berharap pemerintah bisa independen dalam penanganan kasus-kasus penyebaran hoaks.
Megawati Singgung Kekalahan PDIP di Jateng: Awas lho, Jangan Memalukan Saya Lagi |
![]() |
---|
Transformasi Digital di Sektor Manufaktur Perlu Dukungan SDM dan Sinergi Teknologi |
![]() |
---|
Antisipasi Ancaman Deepfake, Komdigi Gencarkan Literasi Digital |
![]() |
---|
3 Kritik ke Rezim Jokowi Disebut-sebut Bikin Tom Lembong Dijerat Korupsi Impor Gula |
![]() |
---|
Kedaulatan Digital Diperlukan, Pakar Soroti Regulasi OTT yang Masih Lemah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.