Sabtu, 4 Oktober 2025

Sejarah Panjang Prostitusi di Ibu Kota Jakarta: Asal Usul Istilah 'Main Mangga'

Di abad ke-17, kata dia, terdapat rumah bordil besar yang menjadi cikal bakal prostitusi ibu kota. Namanya Macao Po.

Businessinsider
Ilustrasi prostitusi 

Artinya, menurut Wenri, pemerintah pada saat itu benar-benar melindungi pelacur. Bahkan, pemerintah membangun rumah sakit khusus penyakit kelamin. Yang terinfeksi dikarantina.

Jaminan pemerintah terhadap prostitusi membuat, bisnis rumah bordil berkembang pesat. Sebut saja rumah bordil di Gang Hauber (Petojo) dan Kaligot (Sawah Besar). Kemudian, menyusul dibukanya Pelabuhan Tanjung Priok pada 1883, lalu pembangunan stasiun Pasar Senen, arena pelacuran pun tak lagi terkonsentrasi di sekitar Macao Po.

Di kawasan Senen, Wenri bercerita, ada rumah pelacuran terkenal seantero Batavia. Pemiliknya bernama Umar, cukup tersohor di abad 20. Pelacurnya yang jadi primadona adalah Fientje de Feniks..

Bahkan, kisah Fientje de Feniks sempat dipotret novelis Pramoedya Ananta Toer dalam buku tetralogi Rumah Kaca. Pram mengisahkannya dengan tokoh Rientje de Roo di Rumah Kaca.

Prostitusi terus berkembang. Pemerintah DKI Jakarta juga terus berupaya menata bisnis syahwat itu. Di era Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin tahun 1969, kata Wenri, ada semacam "sensus" pelacur.

Jumlahnya cukup banyak. Jakarta Utara saja ada 13 lokalisasi yang tersebar di sembilan kelurahan.

Usai mendata pelacuran, pada April 1970 Ali Sadikin kemudian mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur nomor Ca.7/I/13/70 tentang pelaksanaan lokalisasi dan rasionalisasi pekerja seks komersial.

Prostitusi lagi-lagi dilegalkan, dipusatkan di Kramat Tunggak.

Namun, apakah langkah Ali Sadikin itu berhasil? Wenri belum bisa memastikannya. Yang pasti, Kramat Tunggak yang dulunya lokasi horor pun berubah jadi ramai. (*)

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved