Cover Story Tribun Jakarta Digital
Curhat Manusia Gorong-gorong: Rindu Ibu di Kampung
Malik ingin sekali di Hari Raya nanti pulang ke kampung untuk sungkeman kepada ibunya, membawa serta isteri dan buah hatinya.

Baca juga: Curhat Manusia Gorong-gorong: Kalau Sakit, Gaji Dipotong
Ungkapan Hati Manusia Gorong-Gorong: Perhatikan Saya
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA--Sudah enam tahun lamanya Abdul Malik tak menginjakkan kaki ke kampung halamannya di Pasuruan, Jawa Timur. Ia mengaku tak kuat, saat ibunya, Mustani melintas di pikiran.
Dalam benaknya, Malik ingin sekali di Hari Raya nanti pulang ke kampung untuk sungkeman kepada ibunya, membawa serta isteri dan buah hatinya.
"Impian yang belum sampai sekarang, ketemu ibu. Selama enam tahun belum pernah ketemu ibu. Kawin saja enggak memberi kabar. Kalau saya ditanya ibu, bawaannya sedih," cerita Malik yang selama enam tahun belum mendengar langsung apakah ibunya masih hidup apa tidak.
Penghuni gorong-gorong pembuangan air proyek apartemen Coral & Sand, di Rasuna Epicentrum, Jakarta Selatan itu adalah bagian dari tiga bersaudara.
Kakaknya, Muhammad Narmin tinggal di Jember, Jawa Timur bersama isterinya. Adiknya, Atim Wicaksono tinggal di Bali, ikut isterinya.
Informasi itu didapat Malik dari cerita bibinya lewat telepon. Semenjak telepon genggam Malik hilang, putus sudah kontak antaran Malik dan keluarganya.
Kehidupan orangtua Malik terbilang jauh dari cukup. Ada harapan, hidup Malik berubah dengan merantau keluar kota. Saat merantau kakinya pertama kali menapak Wonogiri, Jawa Tengah. Malik bekerja di pabrik kerupuk milik pengusaha asal Tasikmalaya, Jawa Barat yang membuka usaha di Wonogiri.
Majikan Malik memperlakukannya dengan baik. Malik dianggap seperti anak sendiri oleh sang majikan. Repotnya, gaji tak dibayar. Tak menerima dengan keadaan, Malik kabur dari pabrik dan bergaul dengan anak-anak stasiun Wonogiri.
Mereka lalu mengajak Malik merantau ke Jakarta. Di atas kereta selama perjalanan, Malik dan teman-temannya harus kucing-kucingan dengan kondektur. Akhirnya, kereta berhenti di Stasiun Tanah Abang.
Tak ada kenalan. Tak ada uang. Malik nekad dengan harapannya mengejar impian. Seorang pria akhirnya mengajak Malik bekerja di lapak barang bekas di daerah Tanah Abang. "Dari dia saya pertama kali belajar mencari botol bekas di stasiun," kenang Malik.
Saat itu majikannya memberi saran untuk membuat KTP DKI. Caranya, uang hasil botol mineral bekas yang ia timbang, disisihkan untuk biaya pembuatan KTP. Selama setahun, ia menyisihkan sampai terkumpul Rp 600.000. Dasar nasib, sang majikan malah kabur sambil membawa uang Malik.
Sejak itu, Malik keluar dari Tanah Abang dan terdampar di Kuningan, bekerja sebagai pembersih harian saluran air. Ia mengungkapkan keinginannya kepada sang mandor untuk pulang ke Pasuruan, Jawa Timur.
"Kalau ada rezeki, saya pasti pulang kampung untuk sungkeman sama ibu," katanya.